PENDIDIKAN untuk NILAI atau untuk PENGETAHUAN?
Sesuai Tujuan Kurikulum 2013, semestinya para siswa memang tidak lagi diintimidasi soal RANGKING (JUARA) baik oleh Orangtuanya ataupun oleh pihak terkait. Tapi sayangnya kebanyakan siswa sekarang lebih mengejar nilai hanya untuk pertanggungjawaban ke orang tua bahwa dia tidak mampu (bodoh) dimata ortu, ataupun yang lainnya. Atau dengan kata lain lebih mengutamakan aspek Soft Skill (pengetahuan) daripada Hard Skill (Keterampilan) atau pengaplikasian dari proses pendidikan itu sendiri.
Saya terkaget ketika ditanya masalah dasar hukum tentang penghapusan peringkat atau Juara Kelas. Artinya para orang tua juga lebih mengutamakan Nilai atau saat dibagikan LHBS (Rapor) yang ditanya duluan adalah RANGKING BERAPA? Bukan sebaliknya? Bagiamna anak saya selama proses belajar? Apakah bisa mengikuti? Perubahan apa yang menonjol, prilaku apa yang berubah? Dan sejenisnya...
Artinya...
maksud saya adalah bukan menjadikan nilai sebagai indikator menilai sisi mana kurang atau lebihnya anak-anak kita. Bukankah kita tahu bahwa perubahan paradigma kurikulum 2013 adalah terletak pada ranah Learning to Know, Learning to be, Learning to do, dan Learning to Live Together. Atau bisa diaplikasikan menjadi Ki-1 (Sikap Spiritual), Ki-2 (Sikap Sosial), Ki-3 (Pengetahuan), dan Ki-4 (Keterampilan).
Perlu dicatat maksud saya setelah memahami kurikulum 2013 selama ini adalah; Sekecil apapun hasil pengetahuan dan karya atau keterampilan yang dipadupadakan dengan sikap spiritual dan sosial siswa harus diapresiasi. Biar setelah tamat (lulus) siswa tersebut jadi pribadi yg lebih baik tanpa membuatnya down. Siswa harus diberi semangat. Sekarang guru memang harus berada di sudut pandang siswa secara lebih dalam. Guru tdk boleh seolah2 menjadi "Hakim". Karena tugas guru sesungguhnya bukanlah mengeksekusi nilai, tetapi lebih dari itu bahwa tugas guru itu menjadikan seluruh siswanya sebagai pribadi yg berbudi pekerti dan berguna bagi dirinya sendiri, keluarga dan masyarakat bahkan nusa dan bangsanya. Guru itu menilai dari semua proses yg dilalui dan dilakukan oleh siswanya, karena guru itu adalah PENDIDIK, jadi jika guru hanya memberikan RANGKING ituhal yang sangat mudah, namun bukan itulagi tujuan pendidikan kita saat ini.
Semua serba salah...
sebagai orang tua siswa, saya harus jujur dulu ketika melihat anak saya juga kecewa dgn adanya juara dikelas, saya jg merasa kecewa ketika peringkat juaranya tdk tercantum diraport. Knapa hal ini terjadi?
Ketika kesuatu tempat atau pulkam anak saya ditanya Peringkat berapa? Si ini peringkat tiga, siitu peringkat 1, dst... padahal saya juga guru dan tahu akan sistem itu, sangat tak kuasa menghakimi dan memberikan penjelasan yang sudah kadung turun temurun dari jaman dahulu bahwa orang tua bangga dgn nilai 100 di raport, tapi cendrung gagal dalam menjalani hidup (banyak yang belum mandiri).
Dan sekarang apa yang terjadi? Ketika sistem rangking tidak ada lagi, muncul istilah bintang kelas, juara kelas, dan seterusnya. Guru pun tak kuasa karna sistem juga menuntut akan hal itu, prestasi akademis diuukur dari nilai 100 atau juara 1. Ya bgitulah kita ada dalam sebuah sistem yang harusnya disadari bersama. Ketika Rangking hanya diketahui oleh guru kelas (wali kelas) dan hanya diumunkn pada kesempatan tertentu didepan barisan tanpa reward apapun, juga banyak menimbulkan complain, dan disisi lain ada banyak prestasi bakat dari siswa yang terabaikan dan orang tua yang menuntut nilai 100 juga adalah kedalahpahaman akan reward, padahal bagi saya pribadi semua itu juga adalah pencapaian yg hrs di apresiasi, baik berupa pujian ataupun berupa penghargaan langsung.
Akhirnya marilah kita kembalikan tujuan pendidikan kita bahwa Nilai hanya semata2 hasil dari sebuah proses pendidikan, dan sudah seharusnya nilai itu harus kita per tanggungjawabkan bersama. Maksud per tanggungjawaban bersama adalah adanya kesepemahaman antara pihak sekolah, orang tua dan masyarakat dalam mengartikan nilai itu. Jd ketika siswa melakukan kesalahan atau nilainya jelek bukan berarti kesalahan orang tuanya, atau berprilaku tdk baik juga bukan karna orang tuanya, bisa karna pergaualn, dan bisa karna masyarakat atau lingkungannya. Begitu juga sebaliknya, ketika anak yang dapat 100 dan jd juara janganlah jumawa sebab masa drpan tiap anak kita tak pernah tahu akhirnya.
Demikian utk kita renungkan bersama2.
Mari bersama2 memajuakn pendidikan di INdonesia tanpa Peringkat atau Rangking yang tercantum pada RAPORT.
Semoga sicovid-19 segera berlalu
Kita bisa hidup berdampingan dgn indah kembali tanpa harus jaga jarak.
Ttd
Edi Putra.
Disclaimer...
tulisan ini dibuat tdk untuk menyinggung siapapun, ini murni karna banyaknya permintaan utk menyampaikan pandangan sebagai Peraih Pengahargaan Vidya Kusuma (tokoh pendidikan Bali), jika ada yang tidak berkenan mohon dimaafkan.
Rahayu



Komentar
Posting Komentar