KEBERADAAN, PENGARUH DAN HUBUNGAN AGAMA HINDU DENGAN KONSEPSI ESTETIKA DI BALI


KEBERADAAN, PENGARUH DAN HUBUNGAN AGAMA HINDU DENGAN KONSEPSI ESTETIKA DI BALI

O L E H  :
KOMANG EDI PUTRA



BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Kaidah-kaidah seni yang berkembang pada masa Bali Kuna pada awalnya berasal dari teks-teks Hindu berbahasa Sansekerta, yang tentunya diterapkan di dalam praktik menciptakan karya-karya seni, baik itu pada seni pahat batu, seni rupa logam, arsitektur, maupun seni tari, teater, karawitan, dan sastra. Pandangan orang Hindu terhadap estetika, dalam hal ini ajaran weda merupakan unsur yang paling dominan dalam estetika Bali sekaligus roh budaya Bali. Setiap kreativitas budaya Bali, termasuk kesenian, tidak akan bisa lepas dengan ikatan-ikatan nilai luhur budaya Bali, terutama nilai-nilai estetika yang bersumber dari agama Hindu. Estetika Hindu pada intinya merupakan cara pandang mengenai rasa keindahan (lango) yang diikat oleh nilai-nilai agama Hindu yang didasarkan atas ajaran-ajaran kitab suci weda. Ada beberapa konsep yang menjadi landasan penting dari estetika Hindu seperti: konsep kesucian, konsep kebenaran, dan konsep keseimbangan. Estetika menurut Hindu, berkaitan dengan prinsip-prinsip ke-Tuhanan.
Seniman Bali berkesenian atas dasar konsep ngayah, baik kepada masyarakat maupun kepada Tuhan, selalu melibatkan unsur-unsur ritual dalam setiap aktivitas berkesenian mereka untuk menjaga kesucian karya seni yang dihasilkan. Bagi masyarakat Bali kesejahteraan lahir dan batin dapat diraih, apabila masyarakat itu dengan konsekuen melaksanakan konsep-konsep utama agama Hindu. Adapun konsep-konsep utama agama Hindu yang terkait dengan estetika tersebut ialah: (1) Sekala dan Niskala, (2) Tri Hita Karana, (3) Desa Kala Patra, (4) Karmaphala, (5) Taksu dan Jengah, serta (6) konsep Kosmologi.
Dalam estetika Hindu dikenal rumusan bahwa suatu hasil seni untuk bisa dikatakan indah dan berhasil harus memenuhi enam (sad) syarat atau perincian (angga), karena itu rumusan itu disebut sad-angga. Keenam syarat pegangan itu adalah sebagai berikut: (1) rupabheda, artinya pembedaan bentuk, maksudnya bentuk-bentuk yang digambarkan harus dapat segera dikenali oleh yang melihatnya. (2) sadrsya, artinya kesamaan dalam penglihatan, maksudnya bentuk-bentuk yang digambarkan harus sesuai dengan ide yang dikandung di dalamnya. (3) pramana, artinya sesuai dengan ukuran yang tepat. (4) wanikabangga yaitu penguraian dan pembikinan warna. (5) bhawa yaitu dapat diartikan sebagai suasana dan sekaligus pancaran rasa, dan (6) lawanya berarti keindahan daya pesona, wibawa atau greget. Seni bukan hanya soal teknik atau keterampilan, tetapi ekspresi yang memberikan wibawa transendental. Dengan kehadiran lawanya, suatu hasil seni akan menimbulkan kesan yang dalam pada penikmat, bahkan bisa mempengaruhi batinnya (lihat Sedyawati 1981:14 dan Sumardjo 2000:337).

1.2    Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan menjadi fokus pembahasan adalah sebagai berikut:
1.2.1   Bagaimanakah keberadaan ruang, waktu dan proses dalam menentukan nilai sakral dan profan terhadap kesenian di Bali?
1.2.2   Bagaimanakah pengaruh Globalisasi terhadap budaya estetika di Bali?
1.2.3   Seperti apakah hubungan aspek seni berupa bentuk, bobot, dan penampilan terhadap produk seni?
1.2.4   Bagaimanakah hubungan wirama, wiraga, wirasa, dan wibawa sebagai substansi membentuk keutuhan pementasan dalam sebuah produk seni?
1.2.5   Bagaimanakah hubungan agama Hindu dengan konsepsi estetika di Bali?

1.3    Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan penulisan paper ini adalah sebagai berikut:
1.3.1   Tujuan Umum
1.3.1.1  Dapat mengerti dan memahami keberadaan ruang, waktu dan proses dalam menentukan nilai sakral dan profan terhadap kesenian di Bali.
1.3.1.2  Dapat mengerti dan memahami pengaruh Globalisasi terhadap budaya estetika di Bali.
1.3.1.3  Dapat mengetahui hubungan aspek seni berupa bentuk, bobot, dan penampilan terhadap produk seni.
1.3.1.4  Dapat mengetahui hubungan wirama, wiraga, wirasa, dan wibawa sebagai substansi membentuk keutuhan pementasan dalam sebuah produk seni.
1.3.1.5  Dapat mengetahui hubungan agama Hindu dengan konsepsi estetika di Bali.

1.3.2   Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penulisan paper ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Estetika Hindu oleh bapak Dr. Drs. I Nyoman Linggih, M.Si selaku dosen pembimbing pada Program Pasca Sarjana (S2) IHDN Denpasar.

1.4    Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang diharapkan dapat diambil dari penulisan paper ini adalah sebagai berikut:
1.4.1        Sebagai tambahan khasanah keilmuwan yang dimiliki khususnya dapat mengerti dan memahami keberadaan ruang, waktu dan proses dalam menentukan nilai sakral dan profan terhadap kesenian di Bali.
1.4.2        Sebagai tambahan khasanah keilmuwan yang dimiliki khususnya dapat mengerti dan memahami pengaruh Globalisasi terhadap budaya estetika di Bali.
1.4.3        Sebagai tambahan khasanah keilmuwan yang dimiliki khususnya gambaran awal hubungan aspek seni berupa bentuk, bobot, dan penampilan terhadap produk seni.
1.4.4        Sebagai tambahan khasanah keilmuwan yang dimiliki khususnya gambaran awal hubungan wirama, wiraga, wirasa, dan wibawa sebagai substansi membentuk keutuhan pementasan dalam sebuah produk seni.
1.4.5        Sebagai tambahan khasanah keilmuwan yang dimiliki khususnya gambaran awal hubungan agama Hindu dengan konsepsi estetika di Bali.


BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Keberadaan ruang, waktu dan proses dalam menentukan nilai sakral dan profan terhadap kesenian di Bali.
Seni sakral ini banyak berkaitan dengan wilayah esoterisme, yang memasukkan suatu ciri intelektual ke dalam bidang agama dan tradisi. Karena itu, bentuk-bentuk tersebut membawa keseimbangan terhadap jiwa dalam ranah mistikal yang dibangun oleh kekuatan suci. Kekuatan suci dalam seni sakral menjadi simbol yang memungkinkan dapat memancarkan kesucian. Simbol suci dalam seni sakral memberikan nilai religius berupa keadaan spiritual dan psikologis yang dapat dipahami semua orang. Dangan semangat seni suci ini pula, kebudayaan seni sakral yang ditradisikan khususnya oleh umat Hindu di Bali akan dapat menemukan bentuk religiusitasnya. Seni profan merupakan seni yang berhubungan dengan suatu hiburan dan tidak terikat oleh nilai magis dan religiusitas kehidupan. Karena itu, seni profan itu dapat lepas samasekali dari kontemplasi intelektual dan hanya memerhatikan perasaan belaka.
Berangkat dari terminologi di atas, maka dapat dicermati tentang keberadaan ruang, waktu dan proses dalam menentukan sebuah produk seni supaya bernilai sakral dan profan sesuai dengan perspektif agama Hindu di Bali. Seni sakral merupakan kesenian yang dipentaskan pada saat pelaksanaan suatu yadnya dan disesuaikan dengan keperluannya. Pementasan seni sakral sangatlah disucikan dan dikeramatkan oleh masyarakat Bali. Mengingat pengaruh pentas seni ini sangat besar pengaruhnya bagi keharmonisan alam semesta ini. Oleh karena itu seni sakral ini sangat mendapat perhatian pada masyarakat Bali.
Masyarakat Hindu di Bali dalam berkesenian akan dilengkapi pula pelaksanaan ritual dengan upacara sesajen (banten) sesuai dengan adat daerahnya masing-masing, dimana upacara tersebut akan berpedoman pada filsafat konsep Tri Kona yaitu Desa (tempat), Kala (waktu) dan Patra (kondisi/ keadaan). Seusai pertunjukan diharapkan mendatangkan kedamaian di dunia ini secara lahir bathin. Sebagaian besar seni pertunjukan tradisional Bali yang ada hingga kini berfungsi untuk ritual keagamaan yang penyelenggaraannya selalu jatuh pada waktu terpilih yang sakral serta diselenggarakan di tempat yang terpilih.
Dengan demikian nilai sakral dari sebuah karya seni di Bali sangat ditentukan oleh tiga hal, yaitu pertama adalah tempat pementasan produk seni yang dipandang memiliki nilai religiusitas sangat tinggi, seperti dalam pementasan tarian sakral maka akan dipilih ditempat suci dan bagian utama mandala. Hal kedua adalah waktu pementasan dipilih sesuai dengan konsepsi wariga dengan memperhitungkan hari yang dianggap suci dan keramat. Dan hal yang ketiga adalah proses, dimana seni sakral sangat terikat oleh inisiasi prosesi ritual keagamaan sebelum suatu seni dipentaskan. Demikianlah konsepsi ruang, waktu dan proses dalam menjadikan sebuah seni bernilai sakral, sedangkan untuk seni profane tidak terlalu terikat oleh tiga hal tersebut dalam kaca mata umat Hindu di Bali.

2.2    Pengaruh Globalisasi terhadap budaya estetika di Bali
Tantangan era globalisasi yang dihadapi masyarakat dan kebudayaan Bali dicirikan oleh perpindahan orang (ethnoscape), pengaruh teknologi (technoscape), pengaruh media informasi (mediascape), aliran uang dari negara kaya ke negara miskin (financescape), dan pengaruh ideologi seperti HAM dan demokrasi (ideoscape) tidak dapat dihindari oleh kebudayaan Bali. Sentuhan budaya global ini menyebabkan terjadinya ketidak seimbangan atau kehilangan orientasi (disorientasi) dan dislokasi hampir pada setiap aspek kehidupan masyarakat. Globalisasi menghapuskan batas-batas negara atau budaya suatu bangsa. Budaya Barat yang sekuler sangat mudah diserap oleh bangsa-bangsa Timur dan bila hal ini tidak terkendalikan tentu menghancurkan budaya atau peradaban bangsa-bangsa Timur. Berbicara masalah globalisasi yang menjadi trens dalam aspek kehidupan masyarakat sudah barang tentu tidak hanya berdampak pada kemajuan sebuah budaya khusus bagi umat Hindu di Bali, namun hal yang lebih besar diperhatikan adalah pengaruh negatif yang dapat menghancurkan tatanan seni budaya bali sehingga kehilangan jati dirinya.
Pengaruh globalisasi dalam seni budaya Bali dapat diamati dalam berbagai bidang, seperti contoh kecilnya adalah dalam pementasan Jogeg di Bali yang pada awalnya tidak terlalu menampilakn nilai erotis yang berlebihan dan mengarah pada pornoaksi, namun dengan adanya tedensi globalisasi berupa tarian-tarian erotis dari barat membuat Jogeg berubah kedudukan menjadi Jogeg yang porno. Hal ini terus semakin menjadi sampai sekarang karena disebabkan oleh hukum permitaan dan penawaran dari penari dengan konsumen. Kenyataan pahit lain yang didera oleh seni budaya Bali akibat globalisasi adalah hilangnya nilai sakralisasi sebuah akuisitas seni akibat adanya pengaruh uang yang dianggap nomor satu dalam kehidupan, sebagai sebuah contoh karena uang akibatnya kesenian sakral dipentaskan tidak sesuai dengan ranah ruang, waktu dan proses sakralisasi.


2.3 Hubungan aspek seni berupa bentuk, bobot, dan penampilan terhadap produk seni
Semua benda kesenian mengandung tiga aspek yang mendasar, yaitu (1) bentuk, (2) bobot, dan (3) penampilan. Ketiga aspek ini merupakan hal-hal penting yang perlu mendapatkan perhatian dalam penilaian karya seni. Masing-masing bisa di breakdown lagi menjadi bagian-bagiannya. Konsep bentuk terdiri atas dua bagian, yaitu pertama bentuk yang merupakan suatu karya seni secara mimetic (kesesuaian dengan setting atau latar belakangnya), dan kesesuaian karya seni dengan temanya. Sedangkan yag kedua struktur yang berkaitan dengan penataan karya seni, yang terdiri dari kesatuan (unity), penonjolan (dominance), dan keseimbangan (balance).
Bobot dari suatu karya seni berkaitan dengan isi atau makna dari apa yang disajikan. Ada tiga aspek yang perlu mendapat perhatian berkaitan dengan bobot, yaitu: pertama suasana yang berhubungan dengan transfer of feeling, dimana suatu pertunjukan yang baik akan bisa menimbulkan suasana tertentu pada penikmatnya. Kedua yaitu gagasan yaitu suatu ide atau konsep yang ingin disampaiakan kepada penikmatnya. Sedangkan yang ketiga adalah anjuran yang berkaitan dengan suatu propaganda atau saran-saran yang ingin disampikan kepada penikmatnya. Selanjutnya aspek ketiga dari suatu estetika adalah penampilan terdiri dari aspek, yaitu bakat, keterampilan, dan sarana.
Ketiga aspek seni di atas sangat menentukan sebuah produk seni, dalam artian keutuhan sebuah peristiwa seni tergantung dari integrasi dari tiga aspek seni tersebut. Dengan demikian penilaian terhadap produk seni berfokus pada kemampuannya membawakan sebuah peristiwa seni. Disamping itu juga tergantung pada keterampilan seorang seniman juga harus mengingat karakteristik produk seni yang dibawakan. Hal ini disebabkan karena estetika produk seni setiap daerah, atau negera itu berbeda-beda.

2.4 Hubungan wirama, wiraga, wirasa, dan wibawa sebagai substansi membentuk keutuhan pementasan dalam sebuah produk seni
Penilaian seni berbeda dengan penilaian bidang ilmu. Seni adalah keindahan, oleh karena itu tidak bisa hanya didekati dengan rasio atau nalar. Instrumen paling utama dalam penilaian seni adalah penilai itu sendiri. Instrumen penilaian yang berupa perangkat-perangkat penilaian hanyalah penunjang penilaian. Idiealnya seorang penilai seni harus memiliki ketajaman intuisi, kepekaan estetis, pengetahuan yang luas tentang berbagai bentuk seni, perkembangan dan teori seni, pengetahuan produksi, dan situasi dan kondisi masyarakat dimana pertunjukan diadakan. Hal ini didasarkan pada argumentasi bahwa penilaian seni khususnya dalam konteks pendidikan tidak hanya selesai setelah penilaian dilakukan, akan tetapi harus bisa memberikan koreksi, saran, dan masukan kepada semua yang terlibat dalam aktifitas seni tersebut.
Berangkat dari penilaian seni, maka keutuhan sebuah pementasan produk seni sangat ditentukan oleh empat faktor, yaitu wirama, wiraga, wirasa, dan wibawa. Hal ini berangkat dari teori ekspresif yang menyatakan bahwa seni merupakan ekspresi estetik dari penciptanya (koreografer, pengarang, pelukis, komponis, dan sebagainya) yang ditransfer melalui berbagai media (gerak tubuh, kata-kata verbal, garis dan warna, suara dan dan lain-lain).  Teori ini banyak berhubungan dengan pribadi dan pengalaman seniman  pencipta. Berangkat dari teori ini, tari pada hakikatnya adalah ekspresi berbagai pengalaman jiwa manusia yang diwujudkan dalam bentuk ciptaan seni dengan media gerak tubuh manusia.
Oleh karena itu pemahaman terhadap karya seni hendaknya tidak didekati dengan kacamata kognitif melainkan imajinatif. Konsepsi dari keutuhan pementasan seni pertama yang menjadi kajian penting adalah membentuk wirama/tempo yang sesuai dengan lakon cerita yang diperankan dengan mengacu pada instrument yang digunakan. Dengan demikian tempo/wirama dari produk seni menjadi serasi. Kedua adalah wiraga, yaitu gerak tubuh atau teknik yang digunakan dalam pementasan hendaknya selalu mengacu pada irama/tempo yang digunakan dengan mengikuti amanat seni yang dibawakan. Ketiga adalah wirasa, dalam artian seorang seniman yang membawakan produk seni hendaknya mampu menjiwai seutuhnya seni yang dibawakan sehingga tidak dapat dibedakan antara produk seni dengan yang dibawakan, sehingga benar-benar menyatu. Sedangkan yang keempat adalah wibawa, dalam artian seorang seniman hendaknya memiliki kemampuan atau power yang dapat mempengaruhi penonton untuk menyaksikan pementasan seni dengan baik, dengan demikian seorang seniman harus memiliki taksu atau inner power dari dalam diri tanpa dibuat-buat.
Jika banten dianggap masalah sehingga perlu dipersoalkan, maka dibutuhkan ditunjukkan dengan babantenan. Hal ini mungkin sulit dipahami oleh banyak orang Bali khususnya yang pemeluk Hindu, babantenan merupakan bagian kehidupan dan penyatuan dirinya dengan kesemestaan alam. Setiap bentuk hubungan peristiwa manusia dan alam diwujudkannya dalam banten dengan susunan sesuai makna dan tujuannya. Banyaknya kejadian dan semakin kompleknya tuntutan manusia Bali dalam memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupannya, menimbulkan masalah yang cukup serius dari berbagai aspeknya. Interaksi sosial, ekonomi, budaya, psikologi semakin rumit. Keterdesakan waktu, ketergesa-gesaan, perasaan tertekan menggeser hidup santai dan kebersahajaan orang Bali. Namun berapapun dahsyatnya faktor pengubah tatanan kehidupan sosial materialistis, ternyata tidak mampu menggemingkan apalagi mematahkan semangat sosial religius yang ditunjukkan dengan babantenan.
Orang termasuk intelektual yang berpengetahuan luas, berwawasan spiritual. Tapi tidak bagi orang awam sekalipun yang memiliki kesadaran alam tentang rasa dan mengerti makna kebalian orang Bali. Seruan, imbauan, intruksi yang didasarkan kewenangan maupun kekuasaan, penyadaran-penyadaran yang dilandasi hasil kajian ilmiah, intervensi, intimidasi, provokasi yang bersifat sumbang terhadap babantenan dari berbagai aspeknya, tidak menyurutkan niat orang untuk mabanten (menghaturkan sesaji). Bahkan sebaliknya, terjadi peningkatan niat dan usaha mengembangkan banten dan babantenan dalam frekuensi maupun volumenya.

2.5 Hubungan agama Hindu dengan konsepsi estetika di Bali. 
Agama Hindu khususnya di Bali merupakan sebuah agama yang berkembang maju dengan takaran nilai estetis dalam artian agama Hindu dalam pelaksanaannya selalu dibingkai oleh unsur seni. Hal ini dapat ditemukan dalam berbagai bidang kehidupan beragama, dimana tatanan agama Hindu tidak bisa dipisahkan dengan sebuah unsure seni, dalam artian agama Hindu bertalian erat dengan aspek seni yang memberikan keindahan dalam beragama. Sebagai sebuah contoh nilai aplikatif agama Hindu dengan berhubungan erat dengan estetika adalah dalam pembuatan pura dengan mengacu pada nilai seni budaya kehidupan yang berkembang. Kebudayaan Bali pada awalnya merupakan kebudayaan sederhana yang kemudian berkembang menjadi sebuah tatanan harmonis dalam fungsinya menjaga keseimbangan masyarakat dan alam lingkungan. Hal inilah yang menjadikan arsitektur tradisional Bali menjadi bagian pokok dari masyarakatnya. Didalamnya terdapat beberapa bagian yang mempunyai struktur penempatan tersendiri yang terkadang bersifat tetap. Masyarakat Bali mayoritas merupakan penganut agama Hindu sehingga pada desain arsitekturnya jelas memperlihatkan pengaruh agama Hindu yang kuat. Arsitektur tradisional Bali yang secara khusus menjadi identitas kebudayaan Bali yang telah mengalami akulturasi yang identik dengan agama Hindu. Motif karang yang bervariasi juga menandakan kreatifitas dengan memiliki makna simbolis tersendiri yang mampu menjadikan unsur sakral dalam arsitektur tradisional Bali.
Arsitektur tradisional Bali merupakan perwujudan keindahan manusia dan alamnya yang mengeras kedalam bentuk-bentuk dan bangunan dengan identitas ragam hiasnya. Bentuk-bentuk yang memiliki variasi yang menjadikan ciri kebudayaan Bali, karena ragam hias juga merupakan sebuah hasil dari sebuah kebudayaan yang menjadi ciri khas dari masyarakatnya. Oleh karena itu, masyarakat Bali yang mayoritas menganut agama Hindu memiliki ciri khas yang berbeda dengan kebudayaan lain yang memiliki kepercayaan mayoritas yang juga berbeda. Bentuk-bentuk dari tananan motif yang diterapkan dalam arsitektur tradisional Bali merupakan sebuah transformasi bentuk dari alam dan juga mitologi dalam agama Hindu, secara estetika bentuk-bentuk tersebut sudah mengalami semacam gubahan yang menonjokan estetika dan serta maksud-maksud tertentu yang disesuaikan dengan penempatannya nanti.
Agama Hindu merupakan kepercayaan yang merepresentasikan makhluk tersebut dalam dinding-dinding relief Candi, sehingga motif tersebut mampu menjadi identitas agama Hindu dengan tema cerita maupun legenda. Fauna dalam kaitannya dengan arsitektur tradisional Bali selain sebagai hiasan juga mampu sebagai simbol-simbol ritual yang ditampilkan dalam bentuk patung yang disebut Pratima. Hal ini yang menjadikan bahwa motif fauna sebagai pelengkap atau identitas dalam kepercayaan agama Hindu. Kekarangan memiliki bentuk yang ekspresionis, selalu meninggalkan bentuk sebenarnya dari fauna yang di ekspresikan dalam bentuk abstrak. Kekarangan yang mengambil bentuk gajah atau asti, burung goak dan binatang-binatang khayalan.
Ornamen merupakan seni terapan yang memiliki nilai estetika sendiri walaupun hanya sebatas sebagai hiasan. Dalam pembuatannya ornamen tidak akan terlepas dalam maksud dan tujuannya. Walaupun sebenarnya fungsi murni estetis merupakan fungsi Ornamen untuk memperindah penampilan bentuk produk maupun objek yang dihiasi sehingga menjadi sebuah karya seni. Fungsi simbolis ornamen pada umumnya dijumpai pada produk produk atau benda upacara atau benda-benda pusaka yang bersifat keagamaan atau kepercayaan yang menyertai nilai estetis. Ini membuktikan bahwa motif yang terdapat dalam arsitektur tradisional Bali memiliki maksud dan arti baik secara estetis maupun keindahan. Hal ini terlihat dalam sifat masyarakat Bali yang masih sangat melekat dengan tradisi dan kepercayaan Hindunya sehingga pada bangunan tradisionalnya pun mengandung banyak makna.
Sesuai dengan hal di atas menjelaskan bahwa penempatan hiasan Ornamen dalam arsitektur tradisional Bali mempunyai nilai estetis sendiri kemudian menjadi identitas dari kebudayaan bali. Nilai estetis tersebut kemudian memiliki pakem tersendiri dan menjadikan penempatannya selalu sama, seperti yang terlihat dalam motif kekarangan pada arsitektur tradisional Bali, penempatannya selalu menjadikan bangunan tersebut terlihat memiliki keindahan tersendiri walaupun dalam penempatannya selalu sama. Hal ini didari pada bentuk pada ornamen yang telah disesuaikan dengan tempat yang telah disediakan.
Kesenian apapun bentuknya, pada dasarnya merupakan hasil kreativitas seniman. Sebagai hasil olah rasa, cipta, dan karsa seniman, kesenian tidak bisa lepas dari ikatan-ikatan nilai luhur budaya, termasuk pula estetika yang hidup dan berkembang di lingkungan masyarakat tempat asal seni yang bersangkutan. Kesenian Bali yang merupakan hasil kreativitas seniman yang berbudaya Bali sangat sarat muatan estetis yang dijiwai oleh nilai-nilai budaya yang diikat oleh agama Hindu.
  
BAB III
KESIMPULAN

3.1  Keberadaan ruang, waktu dan proses dalam menentukan sebuah produk seni supaya bernilai sakral dan profan sesuai dengan perspektif agama Hindu di Bali. Seni sakral merupakan kesenian yang dipentaskan pada saat pelaksanaan suatu yadnya dan disesuaikan dengan keperluannya. Pementasan seni sakral sangatlah disucikan dan dikeramatkan oleh masyarakat Bali. Mengingat pengaruh pentas seni ini sangat besar pengaruhnya bagi keharmonisan alam semesta ini. Oleh karena itu seni sakral ini sangat mendapat perhatian pada masyarakat Bali.
3.2  Pengaruh globalisasi dalam seni budaya Bali dapat diamati dalam berbagai bidang, seperti contoh kecilnya adalah dalam pementasan Jogeg di Bali yang pada awalnya tidak terlalu menampilakn nilai erotis yang berlebihan dan mengarah pada pornoaksi, namun dengan adanya tedensi globalisasi berupa tarian-tarian erotis dari barat membuat Jogeg berubah kedudukan menjadi Jogeg yang porno.
3.3  Semua benda kesenian mengandung tiga aspek yang mendasar, yaitu (1) bentuk, (2) bobot, dan (3) penampilan. Ketiga aspek ini merupakan hal-hal penting yang perlu mendapatkan perhatian dalam penilaian karya seni. Masing-masing bisa di breakdown lagi menjadi bagian-bagiannya.
3.4  Estetika Hindu masyarakat Bali adalah cara pandang tentang keindahan yang diikat oleh nilai-nilai spiritual yang berdasarkan atas ajaran-ajaran kitab suci Weda. Prinsip-prinsip keindahan didasari oleh konsep-konsep kesucian, kebenaran, dan keseimbangan. Implementasi  estetika masyarakat Bali menunjukkan bahwa nilai-nilai kebenaran selalu disajikan melalui lakon-lakon dalam sendratari, drama gong, lukisan, yang dibuat atau ditata sedemikian rupa dengan mempertarungkan dua pihak; yang baik dengan yang buruk, yang jahat dengan yang jujur dan sebagainya. Lakon ini biasanya dipentaskan dalam pertunjukan wayang kulit, drama tari Calonarang dan lain-lain, dan biasanya berakhir dengan kemenangan di pihak yang benar. Konsep-konsep lain yang mendukung estetika Hindu di Bali, ialah konsep kepercayaan, skala-niskala, trihita karana, desa kalapatra, karmaphala, dan konsep taksu dan jengah.


DAFTAR PUSTAKA

Aryasa, I Wayan Madra. 1996. Seni Sakral. Jakarta: Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha.

Bandem, I Made. 1996. Tari Bali. Yogyakarta: Kanisius.

Hartoko. Dick. 1994. Manusia dan Seni. Yogyakarta: Kanisius.

Jalaluddin. 2010. Psikologi Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Koentjaraningrat. 1997. Pengantar Antropologi Pokok-Pokok Etnografi II. Jakarta  Rineka Cipta.

Parmajaya, I Putu Gede. 2007. Seni Sakral. Denpasar: Fakultas Dharma Acarya Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar.

Bagus, I G N. 2002. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia(Kebudayaan Bali). Koentjaraningrat (Ed). Jakarta: Penerbit Djambatan.

Bandem I Made dan Nyoman Rembang. 1976. Perkembangan Topeng Bali Sebagai Seni

Pertunjukan. Denpasar: Proyek Pengalian, Binaan dan Pengembangan Seni Klasik Tradisional dan Baru.

Daniel, T (Ed), 1993. Rahasia Pembangunan Bali. Jakarta : Harian Umum Suara Karya dan Cita Budaya.

Djelantik, AAM. 2004. Estetika Sebuah Pengantar. Bandung : Diterbitkan oleh Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.

Ginarsa. K . 1977. Gambar Lambang. Denpasar: Proyek Sasana Budaya Bali.

Kanta, I M. 1977. Proses Melukis Tradisional Wayang Kamasan. Denpasar : Sasana Budaya Bali.

Kartika S, D dan Nanang Ganda Perwira. 2004. Pengantar Estetika. Bandung: Penerbit Rekayasa Sains

Puja, I G. 1984. Agama Hindu. Jakarta: Mayasari.
Sedyawati Edi. 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta : Penerbit Sinar Harapan.

Soedarso. SP. 1990. Tinjauan Seni sebuah Pengantar untuk Apresiasi Seni. Yogyakarta : Saku Dayar Sana.

Soedarsono, 1972. Djawa dan Bali dua Pusat Perkembangan Drama Tari Tradisional di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sumardjo, J. 2000. Filsafat Seni. Bandung: ITB Press.

Sunaryo, A. 1993. “Desain Dasar I”. Hand Out Jurusan Seni Rupa FBS IKIP Semarang.

Suparta, N, O. 1977. Panca Yadnya. Denpasar: Proyek Sasana Budaya Bali.

Surayin, I A P. 2004. Melangkah ke arah Persiapan Upakara-Upakara Yadnya. Surabaya: Penerbit Paramita.

Sutrisno, M. FX dan Verhaak Christ. 1993. Estetika Filsafat Keindahan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Titib, I M. 2003. Teologi & Simbol-Simbol dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita.

Yudha IBG (Ed). 2003. Estetika Hindu dan Pembangunan Bali (Simbol, Filsafat, Signifikansinya dalam Kesenian), Yudha IBG (Ed). Denpasar: Percetakan Mabhakti.


See more at:




Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Take Home Landasan Pendidikan