Take Home Landasan Pendidikan



Nama                   : Komang Edi Putra
NIM                    : 16.1.2.5.2.0929
No Absen            : 17
Mata Kuliah        : Landasan Pendidikan
Jenjang                : S2 (Dharma Acharya)
Semester              : I (Ganjil)
Jenis Soal             : Take Home
 



UJIAN TENGAH SEMESTER
Soal:
1.        Jelaskan pendapat anda mengenai kebijakan pendidikan Indonesia saat ini, khususnya tentang rencana program full day school dengan mengaitkannya pada landasan pendidikan!

Jawab:
Sebagaimana yang telah diwacanakan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Bapak Muhadjir Effendy tentang rencana penerapan full day school untuk pendidikan dasar (SD dan SMP), baik untuk sekolah negeri maupun swasta. Bahwa dengan sistem full day school, secara perlahan anak didik akan terbangun karakternya dan tidak menjadi liar di luar sekolah ketika orang tua mereka masih belum pulang bekerja. Menurut Pak Menteri pendidikan, jika anak-anak tetap berada di sekolah, mereka bisa menyelesaikan tugas-tugas sekolah sampai dijemput oleh orang tuanya setelah pulang kerja. Selain itu, anak-anak bisa pulang bersama-sama orang tua mereka, sehingga ketika berada di rumah mereka tetap dalam pengawasan, khususnya oleh orang tua.

Terkait dengan kebijakan pak Mentri, khususnya rencana penerapan full day school dalam pendidikan dasar tersebut, maka pendapat saya adalah sebagai berikut:
1.      Kebijakan tersebut harus ada payung hukumnya, terkait dengan mata kuliah Landasan Pendidikan, maka payung hukum tentang penerapan full day school  menjadi sangat perlu dan suatu keharusan sehingga arah, proses, mekanisme dan yang lainnya dapat teukur dan dapat dipertanggungjawabkan sebagaimana mestinya. Sehingga dalam kesempatan ini saya berpendapat bahwa yang dimaksud dengan payung hukum dari kebijakan terkait rencana penerapan Full day school adalah berupa peraturan menteri (Permen) yang diserta petunjuk teknis pelaksanaan atau kegiatan yang secara keseluruhan dapat mengakomodir semua kondisi dan potensi tanpa membedakan antara sekolah di daerah perkotaan dengan sekolah yang ada di daerah pedesaan.
2.      Jika kebijakan bapak menteri pendidikan tentang rencana penerapan Full day school jadi diberlakukan, dan dasar, landasan, atau payung hukumnya sudah ditetapkan, maka saya harapkan pada pelaksanaan atau petunjuk teknis (Juknis) agar tidak sepenuhnya diisi dengan pelajaran teks book, atau materi sesuai kurikulum yang sedang berlangsung saat ini (kurikulum 2013) melainkan dapat diisi dengan kegiatan pengenalan kearifan lokal daeran dan kebudayaannya, pengembangan potensi diri masing-masing siswa, dan atau kegiatan ekstrakurikuler yang bertujuan membentuk dan mengembangkan karakter, kepribadian, serta mewadahi potensi setiap anak. Sehingga anak-anak juga dapat dan mampu mengisi dirinya serta tidak kehilangan jati diri dari bagian masyarakat yang beriman, bertakwa, berahlak mulia, berbudaya, dan saling menghargai serta menjunjung tinggi kebhinekaan bangsa Indonesia.
3.      Penerapan Full day school saya harapkan dapat berdampak positif kepada guru, khususnya guru honorer dan guru di swasta. Dalam hal ini, yang saya maksud dampak positif adalah kesejahteraan para guru agar lebih diperhatikan, misalnya untuk di Provinsi Bali, agar gaji guru-guru yang dapat memenuhi kualifikasi dan ketentuan khusus dapat digaji minimal Rp. 15.000.000,- (Lima Belas Juta Rupiah), se bulan, sehingga totalitas, loyalitas, etos, dan semangat kerja akan semakin meningkat, seiring tingkat kesejahteraan para guru.
4.      Penerapan Full day school saya harapkan tidak membebani Guru dan siswa secara fisik dan psikologis. Karena dengan penambahan jam masuk sekolah hingga sore hari, dapat berpengaruh dari aspek fisik dan aspek psikologis.
Secara fisik, Perubahan jam sekolah menjadi lebih panjang bisa membuat guru dan juga siswa bisa saja kelelahan, dan atau bahkan tidak kuat. Sementara kita semua secara alami masih membutuhkan waktu untuk istirahat yang cukup agar bisa berkonsentrasi secara maksimal.
Secara psikologis, penambahan jam belajar juga akan berpengaruh terhadap tingkat stres guru dan siswa. Banyaknya beban yang dihadapi guru bisa mempengaruhi aspek psikologisnya. Demikian juga dengan siswa sekolah dasar (SD) cenderung mudah bosan. Mereka membutuhkan sarana lain untuk melepas kebosanan yang mungkin bisa didapat melalui lingkungan di luar sekolah, seperti teman di rumah ataupun keluarga, Dengan adanya penerapan Full day school ini yang saya khawatirkan adalah kehidupan sosialisasi anak dengan teman dan keluarga di rumah bisa terbengkalai atau dengan kata lain kehidupan sosial anak akan kurang berkembang.
5.      Program full day school dari pak menteri pendidikan bukan merupakan suatu keharusan atau dengan kata lain belum mendesak untuk diberlakukan. Dengan ini saya ingin mengajak dan mengingatkan kepada kita semua sebagai pelaku pendidikan bahwa, masih banyak persoalan mendasar yang dihadapi dunia pendidikan saat ini, dan dibutuhkan penanganan segera. Misalnya pemerataan guru disetiap sekolah, kualitas guru dan keprofesionalitasnya, permasalahan carut marutnya penerapan kurikulum 2013, dan juga fasilitas sarana dan prasarana pendidikan yang belum memadai dan merata di setiap daerah.
Jikapun diberlakukan, maka penerapan full day school di Indonesia tidak bisa disamaratakan karena bergantung pada sarana dan prasarana yang mendukung. Seperti fasilitas sekolah serta regulasi lain yang menjadi penguat kebijakan pak mentri pendidikan ini, misalnya kemauan dan turut campur pemerintah daerah dan juga pemangku kepentingan dalam dunia pendidikan baik di pusat maupun yang ada di daerah.
6.      Permasalahan yang medasar menurut pendapat saya adalah perbedaan latar belakang ekonomi dari orang tua yang juga akan mempengaruhi penerapan Full day school, misalnya saja untuk orang tua yang ada di daerah pedesaan atau daerah pelosok, terpencil dan terisolir, penerapan kebijakan Full day school saya pikir belum layak, dan tepat sasaran, terutama dilihat dari sudut pandang ekonomi yang dikaitkan dengan pola kebiasaan masyarakat yang cendrung meminta anak-anak mereka untuk membantu pekerjaan para orang tua. Hal ini cukup beralasan sekali, sebagaiaman yang saya dan atau bahkan kita semua mengalaminya pada masa proses pendidikan kita dahulu, oleh karena tidak sedikit masyarakat di daerah pedesaan dan pesisir bermata pencarian sebagai nelayan dan petani yang membutuhkan bantuan anaknya dalam mencari nafkah serta  untuk dapat mempertahankan dan melangsungkan kehidupannya. Jika kebijakan Penerapan Full day school diberlakukan untuk semuanya, maka otomatis ada konsekuensi yang harus masyarakat yang saya maksud akan tanggung, yakni kehilangan dukungan tenaga dari anak-ana mereka yang berpotensi mempengaruhi pendapatan keseharian dan atau bulanan para orang tua dimaksud. Tentu sangat berbeda jika dibandingkan dengan para orang tua yang sudah mapan, atau yang saya maksud adalah anak-anak yang ada di Kota, dan atau dengan kata lain orang tua mereka yang bekerja di perkantoran, yang cendrung tidak pernah melibatkan anak-anaknya dalam membantu urusan ekonomi keluarga.



2.        Bagaimanakah pendapat anda mengenai anggaran 20% dana yang dialokasikan untuk pendidikan jika dikaitkan dengan landasan ekonomi pendidikan?

Jawab:
Sebelum lebih jauh saya berpendapat, ada baiknya saya sampaikan dasar terkait pendanaan 20% yang dialokasikan khusus untuk pendidikan. Sebagaimana yang terdapat dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah khususnya pada bagian a bahwa:
“Penyelenggaraan pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan  kekhasan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Salah satu tujuan diberlakukannya otonomi daerah adalah untuk meningkatkan keefektivan penyelenggaraan pemerintahan, termasuk untuk memperpendek rantai birokrasi, mengingat luasnya dan banyaknya pulau di seluruh negara Indonesia. Adanya UU tentang Pemerintah Daerah tersebut membawa konsekuensi pada pemerintah daerah untuk mengelola sendiri berbagai bidang, tetapi harus tetap mengacu pada rambu-rambu yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Salah satu bidang atau sektor penting yang harus dikelola oleh pemerintah daerah adalah sektor pendidikan, terutama yang berkaitan dengan pendanaan untuk pemenuhan 8 Standan Nasional pendidikan, sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013. Terkait dengan pendanaan bidang pendidikan, pemerintah telah menetapkan ketentuan bahwa alokasi dana untuk pendidikan minimal 20% dari APBD. Hal ini tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 49 ayat (1):
“Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)”

Berdasarkan pada UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tersebut, sudah jelas bahwa pemerintah daerah harus mengalokasikan minimal 20% APBD-nya untuk sektor pendidikan. Lalu bagaimana realitanya saat ini? Apakah pemerintah daerah sudah menerapkan kebijakan tersebut?

Terkait dengan landasan pendidikan khususnya pada bagian kajian landasan ekonomi pendidikan, maka pendapat saya adalah; Dari data yang saya ketahui, khususnya untuk daerah Provinsi Bali, sesuai dengan berita media Suksesinews.com dimuat tanggal 10 September 2015, bahwa untuk Tahun anggaran 2016, anggaran pendidikan di Provinsi Bali tidak mencapai minimal 20% melainkan hanya sebesar 19.07% dari Total APBD tahun anggaran 2016. Namun, yang belum saya ketahui pasti adalah apakah alokasi tersebut sudah di luar gaji pendidik atau belum, karena menurut UU Sisdiknas alokasi 20% untuk sektor pendidikan harus di luar gaji pendidik. Pemerintah provinsi Bali yang belum mengalokasikan 20% APBD-nya untuk pendidikan ini mengindikasikan bahwa tingkat kemampuan penyerapan angaran untuk pendidikan oleh pemerintah perovinsi Bali masih kurang. Hal ini menjadi suatu masalah yang harus segera diselesaikan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Bali umunya.

Jadi menurut saya kebijakan pemerintah daerah (PEMDA) belum sepenuhnya melaksanakan amanat Undang-undang Sisdiknas, dan pemerataan alokasi anggaran untuk tiap-tiap sekolah juga belum merata, seperti alokasi dana khusus (DAK) dana rehab gedung dan juga yang lainnya. Sebagai contoh, sekolah yang harusnya mendapat bantuan rehab, namun tidak ditindaklanjuti, justru sebaliknya, sekolah yang masih bagus sudah di rehab dan mendapat gedung baru. Inilah yang memicu terjadinya kesenjangan. Dengan permasalahan dimaksud saya berharap agar pemerintah daerah mengupayakan anggaran 20% dari APBD benar-benar untuk sekolah, sehingga pendidikan dapat lebih maju dan berkembang secara sehat.

3.        Peserta didik dalam kaitan psikologi memiliki berbagai macam perbedaan satu sama lainnya, bahkan diantaranya memiliki kecenderungan hiperaktif? Jelaskan pendapat anda mengenai cara menanggulanginya agar proses belajar mengajar berjalan dengan baik
serta mencapai tujuan yang maksimal!

Jawab:
Untuk menanggulangi beberapa anak yang cendrung hiperaktif dan bahkan ada yang memang sudah hiperaktif, sesuai dengan yang saya lakukan bersama dewan guru di SD Bali Public School adalah dengan cara:
1.      Mengadakan tes masuk saat penerimaan siswa baru
Tes yang dimaksud adalah anak-anak menjawab beberapa pertanyaan terkait pemahaman CALISTUNG dan juga tes wawancara bersama kedua orang tua siswa. Jika saat wawancara dimaksud orang tua menyampaikan tentang kondisi anak mereka, maka saya biasanya mengajak dan mengadakan kesepakatan akan melakukan beberapa kali tindakan dan kegiatan yang wajib diikuti dan akan dikomunikasikan lebih lanjut dengan pihak orang tua.
2.      Memanggil ke dua orang tua untuk menyampaikan progres anak di sekolah
Setelah kesepakatan yang diambil saat PPDB, maka langkah selanjutnya adalah mengamati prilaku siswa yang memiliki kebiasaan yang mengarah hiperaktif, lalu dipetakan apakah pengaruh di rumah, tayangan TV/video/game, atau yang lainnya. Kemudian menyampaikan kebiasaan d sekolah dan menanyakan kebiasaan yang dilakukan anak di rumah. Lalu setelah mengetahui latar belakang masalahnya, dilanjutkan dengan langkah pemutusan hal-hal yang menyebabkan anak cendrung hiperaktif. Selain menggunakan buku diary siswa, komunikasi juga dicatat dalam buku kasus dan juga di share melalui media social group Guru-guru SD BPS, selanjutnya di bahas lebih lanjut dalam group komite bersama orang tua. Kebanyakan memang ingin privasi tapi ada juga yang bersedia dengan disampaikan terbuka, sehingga orang tua yang lain bias turut memaklumi dan sekaligus bias menyampaikan pandangan dan pendapatnya.
3.      Mewajibkan anak mengikuti kegiatan doa dan morning assembly.
Berdoa bersama di pagi hari dengan lantunan music dan doa berbahasa inggris, serta di tambah dengan kebiasaan local mengucapkan “Baba Nam Kevalam” selama 3 menit, ternyata telah mampu merubah rasa percaya diri anak-anak dan tumbuh kebersamaan dan saling menghargai.
4.      Mewajibkan anak mengikuti kegiatan yoga asanas
Yoga asanas menjadi salah satu alternatif dalam kurikulum lokal SD BPS untuk mengendalikan kebiasaa buruk siswa dan melatih konsentrasi. Anak-anak diupayakan untuk duduk hening (meditasi) selama 5 menit, dan terus dievaluasi selama 5 menit itu siapa saja yang tidak bias melaksanakannya dengan baik, sebagai catatan bahwa ada sesuatu yang harus ditindaklanjuti kepada anak dimaksud.
5.      Mewajibkan anak-anak untuk mematuhi semua program-program sekolah seperti;
a.      Five Principle Of Morality (no harming, no stealing, speak the truth, universal love, don’t be gready)
b.      TTM (Terpaksa, Terbiasa, Membudaya)
c.       5 S (Senyum, Salam, Sapa, Sopan, Santun)
d.      ACMI (Aku Cinta Masakan Ibu)
e.       PECIL (Peduli dan Cinta Lingkungan)
f.       Gempes (Gemar Menabung dan Peduli Sesama)
Semua program di control oleh Wakasek Bidang Kesiswaan dan Koordinator Bina Program yang setiap bulannya untuk anak-anak yang tertib dan mematuhi semua program tersebut tanpa kecuali diberikan reward.


4.        Dalam konteks landasan sosial budaya, berikan saran anda untuk menanggulangi semakin maraknya berbagai perilaku menyimpang yang dilakukan oleh peserta didik seperti menjadi anggota geng motor, tawuran, seks bebas, narkoba dan lan sebagainya!

Jawab:
Saran yang bisa saya berikan adalah:
1.      Memberikan pemahaman kepada orang tua, bahwa mendidik bukan hanya menjadi tanggungjawab di sekolah saja, melainkan pembentukan karakter anak-anak awalnya di bentuk oleh orang tua. Sehingga yang sering saya lakukan adalah mengajak orang tua terlibat dalam semua kegiatan sekolah.
2.      Sekolah harus membuat dan mengkemas program tersebut menjadi yang kekinian dan kedisinian, serta mampu memberikan rekasi terhadap moral siswa. Dimana program-program tersebut sangat sederhana dalam tataran konsep tapi efeknya sangat luar biasa dalam membentuk karakter anak dan juga orang tua. Sebut saja salah satunya adalah program ACMI (Aku Cinta Masakan Ibu) dimana anak-anak wajib membawa makanan jadi dari rumah dan mereka nikmati di sekolah, dan anak-anak tidak boleh membawa uang melebihi ketentuan sekolah, serta anak-anak wajib menabung setiap hari, sehingga melalui program ini, tidak ada alasan untuk mereka berada di luar control guru di sekolah.
3.      Orang Tua hendaknya tidak memberikan fasilitas kendaraan ketika dianggap belum layak. Dan Polisi harus tegas menindak anak-anak yang kedapat mengendarai sepeda motor saat mereka belum pantas dan belum layak untuk itu.
4.      Guru harus totalitas mampu dan dapat menjadi contoh yang patut di gugu dan ditiru ketika berada di depan siswa. Artinya apa yang dipirkan itulah yang dikatakan, dana pa yang dikatakan itulah ang dilakukan. Sehingga anak-anak dapat meniru secara utuh dan bukan sebagian saja.

5.        Pendidikan agama selama ini sering dipandang sebelah mata oleh peserta didik bahkan diantaranya ada yang berpandangan tidak dibutuhkan. Berikan pendapat anda jika hal tersebut dilihat dari filsafat pendidikan!

Jawab:
Menurut saya dan yang saya alami, ketahui, dan praktikan, inilah paradigma dan cara pandang yang keliru tentang ajaran agama sesungguhnya oleh peserta didik di sekolah. Mereka hanya menganggap bahwa mata pelajaran yang diujikan secara nasional (UN) saja yang menjadi prioritas utama. Untuk itulah dalam kurikulum 2013 sudah sangat jelas diberikan materi tentang proses pencapaian KI-1 (sikap Spiritual) dan KI-2 (Sikap soial) melalui nilai dan norma ajaran agama.
Jika dilihat dari sudut pandang filsafat pendidikan, saya berpandangan bahwa, pelajaran agama akan dapat memberi dasar-dasar dan nilai-nilai moral yang sifatnya das Sollen (yang seharusnya). Sebab setiap agama selalu mengajarkan agar tercapainya kedamaian dan kesempurnaan hidup, khususnya dalam ajaran agama Hindu yaitu agar tercapainya “Mokshartam jagadhita ya ca iti dharma” sehingga melalui proses pendidikan yang dapat mengimplementasikan dasar-dasar tersebut baik di sekolah oleh guru, di rumah oleh orang tua, dan di lingkungan oleh masyarakat dapat bersinergi dan berjalan dengan baik, sehingga semakin cerdas siswa maka akan semakin berbudi dan berahlak, dan bukan sebaliknya, semakin pintar sesorang semakin tidak berbudhi dan berprilaku yang tidak seharusnya dilakukan. Proses pendidikan juga akan memberi masukan yang sangat berarti dari realita ajaran agama terhadap pemikiran ideal pendidikan dan kehidupan siswa (manusia) secara utuh dan menyeluruh. Jadi, ada hubungan timbal balik di antara agama dan pendidikan.
Agama yang dipandang sebelah mata oleh siswa, hanya karena mereka belum memahami secara mendalam tentang ajaran agama yang sesungguhnya. Jika kita ingin mengetahui sesuatu di dalam kepercayaan dan keyakinan agama, maka tentunya kita harus mempelajarinya. Selain belajar melalui guru di sekolah, dan keseharian di rumah, kita juga bisa mendapatkan pemahaman agama dari para ahli agama atau pemangku dan atau pedanda. Dalam kajian filsafat pendidikan, menurut saya juga bahwa seorang siswa harus mempelajari agama karena, ia akan membahas dan mempelajari berbagai jenis pertanyaan yang berbeda mengenai agama. Pertama-tama misalnya saja ada kemungkinan siswa akan bertanya: Apakah agama itu? Apakah yang dimaksud dengan istilah “Sang Hyang Widhi” itu? Apakah bukti-bukti tentang adanya Tuhan itu sehat menurut logika? Bagaimanakah cara kita mengetahui Tuhan? Apakah makna “eksistensi” bila istilah ini dipergunakan dalam hubungannya dengan Tuhan?

Filsafat pendidikan agama tentu tidak berkepentingan dengan apa yang orang yakini dan percayai, tetapi kepada makna istilah-istilah yang dipergunakan, keruntutan di antara kepercayaan-kepercayaan, bahan-bahan bukti bagi kepercayaan, dan hubungan antara kepercayaan agama dengan kepercayaan-kepercayaan yang lain. Yang erat hubungannya dengan kepercayaan agama adalah kepercayaan mengenai keabadian hidup, meskipun masalah ini tidak monopoli milik agama, tetapi merupakan masalah terpenting bagi penganut-penganutnya. Hal inilah yang kemudian menjawab tantangan bahwa pelajaran agama di sekolah menjadi sangat penting untuk diajarkan, agar siswa dapat memahami jati dirinya secara utuh dan menyeluruh. Serta bagaimana seorang siswa untuk terus mampu bersyukur, menghargai perbedaan, dan mampu meyaikini akan keberadaan Tuhan itu sendiri. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEBERADAAN, PENGARUH DAN HUBUNGAN AGAMA HINDU DENGAN KONSEPSI ESTETIKA DI BALI