Teori Kritis: Pendidikan yang berbasis pembebasan dengan cara berpikir kontekstualitas.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendidikan bersamaan dengan perkembangannya bertujuan
membebaskan manusia menjadi manusia seutuhnya. Kebijakan dan aturan dalam dunia
pendidikan di Indonesia berkali-kali mengalami perubahan dengan maksud
penyempurnaan. Pada saat ini diluncurkan kurikulum 2013 yang seringkali
ditegaskan sebagai penyempurna dari sebelumnya. Akan tetapi, benarkah kurikulum
2013 akan mampu menjawab tantangan pendidikan yang dituntut membebaskan manusia
menuju suatu kreatifitas dan prestasi. Dengan demikian, untuk mencapai tujuan
itu perlu adanya kajian ulang tentang pendidikan di Indonesia dengan teori
kritis. Sebab, teori kritis yang dikenal dengan mazhab Frankfurt akan
mengantarkan gagasan yang awalnya tekstual menuju kontekstual, sehingga akan
terwujud suatu pembebasan dalam dunia pendidikan.
Mazhab Frankfurt (Frankfurt School) pertama kali muncul
pada tahun 1923, tetapi baru pada sekitar tahun 1930 aliran ini dikenal di
Jerman. Frankfurt School sering disebut dengan banyak nama, diantaranya Teori
Kritis, Mazhab Frankfurt (Die Frankfuter Schule), atau Teori Kritik Masyarakat
(Kartono dkk., 2004: 3). Tokoh-tokohnya antara lain Max Horkheimer, Theodor W.
Adorno, Herbert Marcuse, dan Habermas. Pendekatan mereka sering disebut sebagai
teori kritis (critical theory) (Blackburn, 1994: 146). Sedangkan Adorno,
seperti dinyatakan William Outhwaite, merupakan the most important thinker of
the Frankfurt School (Outhwaite, 1998: 2).
Awalnya Frankfurt School didirikan oleh Felix J. Weil,
seorang sarjana politik, anak seorang pedagang gandum yang kaya raya. Lembaga
itu didirikan tahun 1923 dan tidak pernah mau menggantungkan diri pada lembaga
lain termasuk dengan Partai Komunis. Lembaga tersebut disebut Aliran Frankfurt
(Frankfurter Schule) karena Institut Fur Sozialforschung berada di Frankfurt
Jerman, dan diisi oleh orang-orang yang berpikiran kiri (progresif) dan
benar-benar independen. Tujuan aliran ini adalah untuk menyegarkan ajaranajaran
Marx sesuai kondisi saat itu (Sindhunata, 1990: 20).
Sejak awal tokoh-tokoh yang ada dalam lembaga penelitian
ini melancarkan kritiknya dan melakukan penentangan terhadap kebijakan politik
nasional-sosialisme. Apalagi kebanyakan anggotanya adalah keturunan Yahudi.
Karena itu, setelah sempat ditutup atas perintah pemerintah nasional-sosialis
ketika Hitler mulai berkuasa pada tahun 1933, institut ini pindah ke New York,
namun kemudian kembali lagi ke Frankfurt pada tahun 1949 (K. Bertens, 1990:
177).
Dari sejarah awal lahirnya teori kritis tersebut dapat
dijadikan sebuah acuan atau teoritis dalam mengkaji dunia pendidikan. Pada saat
ini, pendidikan tampak kurang memperhatikan nilai kebebasan yang masih bersifat
tekstual. Oleh karena itu, tulisan ini akan mengupas pendidikan dari sudut
pandang teori kritis dengan tujuan menemukan pemecahan masalah, yaitu pendidikan
yang berbasis pembebasan dengan cara berpikir kontekstualitas.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan
menjadi fokus pembahasan adalah sebagai berikut:
1.2.1
Apa saja yang menjadi pokok-pokok
pikiran Teori Kritis?
1.2.2
Bagaimanakah penerapan Teori Kritis dalam dunia
pendidikan?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan penulisan makalah ini adalah
sebagai berikut:
1.3.1 Tujuan Umum
1.3.1.1 Dapat memahami apa saja yang menjadi pokok-pokok
pikiran Teori Kritis.
1.3.1.2 Dapat memahami
penerapan Teori Kritis dalam dunia pendidikan
1.3.2
Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penulisan makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas akhir
semester mata kuliah Teori Sosial Budaya oleh bapak Prof. Dr. I Wayan Ardika, MA selaku dosen pembimbing pada
Program Pasca Sarjana (S2) IHDN Denpasar.
1.4 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang diharapkan dapat
diambil dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.4.1
Sebagai tambahan khasanah keilmuwan yang dimiliki khususnya dapat mengerti
dan memahami pokok-pokok pikiran Teori Kritis lebih mendalam lagi.
1.4.2
Sebagai salah satu bahan acuan dan rujukan setelah mengetahui penerapan Teori Kritis dalam dunia
pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
Teori kritis adalah sebuah aliran pemikiran yang
menekankan penilaian reflektif dan kritik dari masyarakat dan budaya dengan
menerapkan pengetahuan dari ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Dalam filsafat,
istilah teori kritis menggambarkan filosofi neo-Marxis dari Frankfurt School,
yang dikembangkan di Jerman pada 1930-an. Teori Frankfurt menarik tentang
metode kritis Karl Marx dan Sigmund Freud. Teori Kritis menyatakan bahwa
ideologi adalah kendala utama untuk pembebasan manusia. Teori Kritis didirikan
sebagai sebuah sekolah pemikiran terutama oleh lima tokoh teori Mazhab
Frankfurt: Herbert Marcuse, Theodor Adorno, Max Horkheimer, Walter Benjamin,
dan Erich Fromm. Teori kritis modern telah bertambah dipengaruhi oleh György
Lukacs dan Antonio Gramsci, serta generasi kedua sarjana Mazhab Frankfurt,
terutama Jürgen Habermas. Dalam karya Habermas, teori kritis melampaui akar
teoretis dalam idealisme Jerman, dan berkembang lebih dekat dengan pragmatisme
Amerika. Kepedulian terhadap "dasar dan suprastruktur" sosial adalah
salah satu yang tersisa dari konsep filsafat Marxis di banyak teori kritis
kontemporer.
Untuk menggunakan perbedaan epistemologis yang
diperkenalkan oleh Jürgen Habermas di Erkenntnis und Interesse (1968)
(Pengetahuan dan Minat Manusia), teori kritis dalam studi sastra pada akhirnya
merupakan bentuk hermeneutika; yaitu, pengetahuan melalui interpretasi untuk
memahami makna teks manusia dan simbolis ekspresi -termasuk penafsiran
teks-teks yang dengan sendirinya menafsirkan teks-teks lain. Teori sosial
kritis adalah, sebaliknya, suatu bentuk pengetahuan refleksi diri yang
melibatkan pemahaman dan penjelasan teoretis yang bertujuan untuk mengurangi
jebakan dalam sistem dominasi atau ketergantungan.
2.1
Pokok-pokok
Pikiran Teori Kritis
Mazhab
Frankfurt sangat dekat dengan aliran Marxis, sehingga dapat dikatakan sebagai
Neo-Marxis. Hal ini dapat dilihat dari landasan berpikir yang mendasari Teori
Kritis dengan menggunakan landasan berpikir dari Karl Marx. Namun, para ahli
dalam Mazhab Frankfurt tidak mau mengikuti begitu saja pemikiran Karl Marx,
sehingga mereka melakukan perombakan atau penafsiran ulang ajaran Karl Marx.
Karena itu, mereka melahirkan konsep-konsep yang berbeda dari Marxisme yang
telah dibakukan menjadi ideologi. Akibatnya, oleh Marxisme Ortodok, aliran ini
dianggap sebagai alirang murtad. Meskipun demikian, Mazhab Frankfurt dan
golongan pembaharu Marxis lainnya tetap memakai analisis ataupun semangat Marx
muda untuk melihat masyarakat modern.
Marxisme dalam
perkembangannya dapat digolongkan ke dalam tiga aliran besar. Pertama, golongan
yang sering dikatakan sebagai Marxisme kanan atau Marxisme Ortodoks. Kelompok
ini membakukan ajaran Karl Marx yang dilanjutkan oleh Engels dan kemudian
ditafsirkan oleh Lenin menjadi ideologi baku. Golongan kedua, merupakan
kelompok yang melihat ketidaksesuaian penafsiran golongan pertama terhadap
konsep Marxisme karena mereka mengatakan Kapitalisme akan runtuh dengan
sendirinya, tetapi terbukti sampai saat ini tidak runtuh-runtuh tetapi justru
malah menguat. Golongan ketiga, merupakan penggolongan dalam tingkat ekonomi
makro mengenai hubungan antarnegara. Teori mereka mengenai hubungan antara
negara dunia ketiga dengan dunia maju, yang tidak lebih dari hubungan
penghisapan. Negara maju ternyata menyedot kekayaan dari dunia ketiga, karena
meskipun negara maju memberikan dollar sebagai pinjaman untuk investasi, tetapi
di balik itu negara dunia ketiga harus menandatangani kontrak kesepakatan.
Secara garis
besar, pokok-pokok pikiran Teori Kritis dapat dicirikan sebagai berikut:
Pertama : Bahwa filsafat
bukan hanya kontemplasi, yakni perenungan tentang sesuatu yang tidak menyentuh
realitas kehidupan.
Kedua : Filsafat
seharusnya dapat mengubah masyarakat berupa pembebasan manusia dari hegemoni
yang timbul sebagai akibat dari pekerjaannya.
Ketiga : Objek
analisisnya adalah masyarakat masa kini, bukan masyarakat ketika Marx masih
hidup.
Keempat : Suatu
pencerahan sebagai upaya menyadarkan manusia tentang kemajuan semu masyarakat
industri yang dehumanis.
Kelima : Menolak
perubahan dengan cara revolusioner, karena terbukti revolusi telah
mengakibatkan hal-hal yang lebih mengerikan dan suasana represi yang lebih
jahat (Munir, tt: 9).
Beberapa
sumbangan yang diberikan oleh Mazhab Frankfurt yaitu:
1.
Perdebatan tentang sebuah epistemologi non-positivis yang
cocok dengan ilmu-ilmu sosial.
2.
Catatan tentang formasi struktural dan kultural yang
dominan dari masyarakat kapitalis dan masyarakat sosialis.
3.
Penggabungan ide-ide yang berasal dari Marx dan Freud, yang
menghasilkan sebuah radikalisasi terhadap teori Freudian dan penetapan Marxisme
dengan teori kepribadian yang lebih utuh. Semua itu terutama didasarkan pada
sebuah pemulihan terhadap pemikiran filsafat Marx muda dan suatu pembaharuan
terhadap penafsiran resmi Soviet terhadap Marxisme yang dilihat oleh teoritisi
Frankfurt sebagai terlalu deterministik dan ekonomistik (Jary dkk., 1991:
178-179).
2.2
Teori Kritis
Dalam Dunia Pendidikan
Asumsi tentang
ilmu pengetahuan dan nilai dalam Teori Kritis menolak pernyataan bahwa teori
harus objektif, hanya menggambarkan apa adanya mengenai dunia, lepas dari
subjektivitas manusia (Kartono dkk., 2004: 84). Ini mengantarkan pada anggapan
bahwa yang objektif inilah yang benar dan penafsiran mengenai dunia hanya ada
satu. Teori seakan-akan menunjukkan apa adanya atau dapat ditarik menjadi suatu
generalisasi yang ilmiah. Hasil dari sebuah penelitian melahirkan sebuah formula
yang dapat diterapkan di mana pun.
Teori yang
mengklaim dirinya objektif justru sebenarnya tidak objektif karena fakta-fakta
sosial dibuat oleh manusia. Dalam hal ini Teori Kritis berangkat dari kaedah
yang dipegang oleh Marxisme Ortodok (Materialisme Dialektis), bahwa
objektivitas sejati adalah pemihakan sejati. Suatu ilmu yang beranggapan dapat bersifat
netral sungguh-sungguh, sebetulnya menindas massa. Pendirian ideologis ini
mengakibatkan banyak konflik dengan ilmu, yang untuk sebagian dapat diatasi
melalui tafisran lebih luwes mengenai asas-asas tersebut (van Peursen, 1985:
72).
Teori yang
hanya melakukan penglihatan secara objektif dan bebas nilai dalam masyarakat,
sama artinya tidak mampu mengungkapkan kondisi yang menindas; bahkan karena
didengung-dengungkan bebas nilai, maka tidak memperbolehkan menilai suatu
kondisi masyarakat. Hal itu ironis karena teori pada dasarnya diciptakan untuk
mendapatkan kondisi yang lebih baik. Pandangan Teori Kritis lebih luwes
daripada Marxisme Ortodok, walau pun mereka tetap mendukung pengaruh ideologis
pada ilmu. Masalah pertama yang menonjol adalah anggapan dialektis mengenai
kenyataan yang mengarahkan struktur ilmu pengetahuan. Asumsi ini terutama
terdapat pada Mazhab Frankfurt, antara lain Adorno dan Habermas, dan secara
tidak langsung juga pada Marcuse (van Peursen, 1985: 73).
Teori Kritis
mempunyai suatu ciri tersendiri dalam penelitiannya. Pertama, adalah gaya
pemikiran historis, yaitu pengandaian bahwa realitas sosial yang sedang terjadi
saat ini hanya dapat dipahami apabila dilihat sebagai suatu proses sejarah.
Banyak sekali hal-hal yang menyelubungi fakta-fakta yang dilihat manusia,
sehingga tidak objektif lagi. Ilmu-ilmu positivis tidak melihat sampai sejauh
itu sehingga tidak mampu mengungkap realitas dari awal yang mendasarinya. Ini
dapat dimengerti karena Aliran Kritis percaya bahwa sejarah adalah ciptaan
manusia sendiri dan ternyata sejarah yang terjadi adalah sejarah penindasan;
maka harus dipahami bagaimana fakta itu terjadi secara historis. Kedua, yaitu
gaya pemikiran “materialis”.
Teori kritis dalam dunia pendidikan
sangat berpengaruh khususnya tentang Ilmu Pengetahuan Tidak Bebas Nilai. Untuk memahami
perdebatan dalam persoalan prinsip “bebas-nilai” dalam ilmu-ilmu umumnya,
sebaiknya mengkaji pembedaan ilmu berdasarkan ilmu yang teoritis dan praktis.
Cita-cita ilmu teoritis adalah memberikan penjelasan tentang suatu realitas
(kenyataan) tanpa sikap berpihak, dan tanpa dipengaruhi oleh hasrat dan
keinginan tertentu. Jadi, pengetahuan yang ingin didapat adalah pengetahuan
yang berasal realitas obyektif. Pengetahuan teoritis melukiskan kenyataan yang
ada, dan sebatas pada deskripsi atas kenyataan itu, bukan justru melukiskan
kenyatan yang dinginkan atau dikehendaki. Sedangkan pengetahuan yang praktis
sudah masuk pada sikap bagaimana melakukan kerja teoritis itu yang kemudian
menghasilkan pengetahuan yang kurang obyektif, yang berpihak pada kepentingan
dan keinginan tertentu, yang tidak lagi disinterested.
Dalam pengetahuan yang kedua ini persoalan nilai menjadi sesuatu yang pasti
akan terjadi. Berbicara soal kepentingan, Habermas menyebut ada tiga kepentingan
kognitif yang bertengger di balik ilmu pengetahuan dalam tiga bidang keilmuan
(Hardiman, 1993: 8-10): ilmu alam, ilmu-ilmu historis-hermenutis, dan ilmu-ilmu
kritis.
Dalam ilmu alam
yang berikhtiar menemukan hukum alam, akhirnya ada upaya penguasaan teknis atas
proses-proses yang dianggap obyektif. Ilmu historis-hermeneutis tidak disusun
secara deduktif dengan acuan kontrol teknis, tapi yang di-lakukannya adalah
menafsirkan teks dengan kepentingan mencapai saling pengertian dan konsensus.
Sedangkan pada ilmu-ilmu kritis yang dikandungnya adalah kepentingan kognitif
emansipatoris yang dilakukan lewat jalan refleksi diri seorang ilmuan. Dengan
demikian Habermas menapik asumsi banyak kalangan dengan mengatakan bahwa
pengetahuan itu tidak mungkin berdiri tanpa kepentingan apapun, walaupun tetap
diakuinya bahwa pengetahuan itu tidak boleh membiarkan subyektivitas mendominasi. Jürgen Habermas membuat lima butir tesis
dalam teorinya atas pengetahuan (Hardiman, 1993:11-14).
Pertama : Pencapaian-pencapaian subyek transedental
memiliki dasar dalam sejarah alam spesies manusia.
Kedua : Pengetahuan berlaku sebagai alat pertahanan
diri sekaligus melampaui pertahanan diri semata-mata.
Ketiga : Kepentingan-kepentingan kognitif manusia itu
berada pada tiga medium organisasi sosial, yakni: kerja, bahasa, dan kekuasaan.
Keempat : Di dalam kekuatan refleksi diri, pengetahuan
dan kepentingan menyatu. dan
Kelima : Kesatuan
antara pengetahuan dan kepentingan dapat dibuktikan dalam suatu dialektika yang
memiliki jejakjejak sejarahnya dari dialog yang ditindas dan merekonstruksi apa
yang telah ditindas.
Aliran
Frankfurt masuk dalam taraf yang ketiga tersebut, yaitu menjadikan responden
benar-benar sebagai subjek atau “objek adalah subjek”, dan ini sangat berbeda
dengan aliran empiris-analitis. Aliran Kritis mirip dengan golongan
historis-hermeneutika, tetapi hasil akhirnya sangat berbeda karena hermeneutika
membongkar makna di balik tindakan manusia yang kemudian dideskripsikan,
sedangkan aliran kritis berusaha melakukan refleksi sehingga akan didapatkan
pengetahuan yang akhirnya akan ditindaklanjuti dengan action untuk memperoleh
perubahan dari dalam masyarakat (Kartono dkk., 2004: 86-87). Lebih jauh,
Habermas (Fakih, 2002: 23-29) membagi ilmu-ilmu sosial ke dalam tiga paradigma.
Pertama, paradigma instrumental. Dalam paradigma “instrumental” ini,
pengetahuan lebih dimaksudkan untuk menaklukkan dan mendominasi obyeknya.
Dalam duia pendidikan setelah mencermati teori kritis,
maka sesungguhnya saya menemukan ada beberapa ciri khas yang merupakan corak
tradisi Teori Kritis dalam dunia pendidikan.
1.
Teori kritis memberi kebebasan subjek (Baca sebagai Peserta Didik); artinya
subjek dipandang sebagai sesuatu yang
utama (pusat realitas), manusia sebagai subjek mempunyai kehendak yang mampu
mengubah kondisi sosial dan membuat sejarah. Ini dijadikan inspirasi dalam
penelitian kritis, bahwa konsep kebebasan subjek ini dapat membawa pada
orientasi bahwa dalam pendidikan, manusia akan mendapat perhatian besar.
Manusia yang dipandang sebagai subjek didik sangat ditekankan, dan segala unsur
lainnya dalam pendidikan (seperti kurikulum, fasilitas pendidikan, dan lainnya)
untuk pemenuhan 8 SNP akan dipandang dan dimanfaatkan secara optimal sebagai
sarana yang mampu membantu mengantarkan manusia (peserta didik) menjadi manusia
yang berkualitas yang mampu mengubah kondisi sosial dan membuat sejarah.
2.
Responden dalam penelitian kritis tidak dipandang sebagai
objek (Baca sebagai Pendidik),
melainkan dipahami sebagai subjek (Baca
sebagai Peserta Didik) yang bebas. Teori Kritis mempunyai sifat membebaskan
peserta didik dari penindasan yang sifatnya semu. Hal tersebut harus dijelaskan
dengan menumbuhkan kesadaran melalui rasio, kemudian dipaparkan dengan analisis
yang sifatnya psikologi, tetapi dalam lingkup yang lebih luas yaitu masyarakat
sekolah. Penerapan ajaran tersebut dalam pelaksanaan pendidikan akan membawa
pada penekanan pentingnya rasio yang akan mengantarkan manusia untuk semakin berpikir
kritis sehingga tidak ‘terlena’ dalam kondisi tertindas (penindasan di sini
dalam arti luas: tidak saja penindasan dalam arti fisik, tetapi dapat juga
penindasan dalam arti khusus seperti pemaksaan suatu pandangan tertentu dan
lain-lainnya yang kerap kali terjadi di dunia pendidikan).
3.
Cara berpikir dialektika dapat dipakai untuk menumbuhkan
kesadaran sejati. Teori Kritis tidak berhenti pada hal kesadaran yang sifatnya
abstrak dan menerawang, tetapi bagaimana hal tersebut akan mampu membumi
melalui praktik, sehingga dalam penelitian Teori Kritis tidak berakhir pada
paparan deskriptif, tetapi sampai pada aksi yaitu kritis transformatif pada
penumbuhan karakter. Teori Kritis yang diterapkan dalam sistem pendidikan akan
menekankan pada orientasi bahwa subjek (Baca
Peserta Didik) mampu menumbuhkan kesadaran sejati, suatu kesadaran yang
tidak abstrak belaka, melainkan kesadaran yang “dibumikan” dalam praktik
kehidupan bermasyarakat, sehingga kekritisan tersebut tertransformasikan secara
riil dalam tindakan untuk memperoleh perubahan kondisi dalam masyarakat melalui
proses dunia pendidikan.
Dalam setiap
proses pendidikan dihadapkan kepada pilihan antara menyesuaikan diri dan
mereproduksi sistem yang telah ada, atau memerankan peran kritis terhadap
sistem itu. Politik dan ekonomi dengan ilmu pengetahuan berkolaborasi untuk
mencapai suatu tujuan, meskipun mesti ‘menjual’ nilai mulia kemanusiaan. Hal
ini dapat dilihat lewat contoh percobaan dari suatu teori, misalnya, rekayasa
genetika. Ilmu pengetahuan yang mempertahankan obyektifitasnya menjadi sangat
subyektif. Khusus terkait dengan proses pendidikan, dalam kurikulum 2013
sesungguhnya adalah kritik terhadap kegagalan hasil output dan outcome
kurikulum KTSP (2006) terhadap pengimplementasian yang utuh baik kompetensi
sikap (sikap spiritual dan sikap sosial), maupun kompetensi pengetahuan dan
keterampilan.
BAB III
SIMPULAN
Teori Kritis berbeda dengan
teori filsafat tradisional yang hanya bersifat kontemplatif ataupun ‘lamunan’
yang jauh dari kehidupan manusia dalam masyarakat yang nyata. Teori Kritis
dipahami sebagai teori pewaris Karl Marx, sebagai teori yang bersifat
materialis emansipatoris. Teori Kritis berusaha menjadi praktis untuk melakukan
perubahan terhadap segala realitas yang dianggap menindas atau mengalienasi
manusia, dengan tujuan untuk menciptakan masyarakat emansipatoris bebas dari
penindasan.
Pemikiran-pemikiran Teori Kritis
tersebut bila diterapkan dalam dunia pendidikan akan memberikan beberapa ciri
pokok. Pertama, karena manusia dipandang sebagai subjek yang mempunyai kehendak
yang mampu mengubah kondisi sosial dan membuat sejarah. Kedua, dengan menumbuhkan
kesadaran melalui rasio, Teori Kritis mempunyai sifat membebaskan masyarakat
dari penindasan yang sifatnya semu. Ketiga, cara berpikir dialektika dalam
Teori Kritis yang diterapkan dalam sistem pendidikan akan menekankan pada
orientasi bahwa subjek-didik mampu menumbuhkan kesadaran sejati, suatu
kesadaran yang tidak abstrak belaka, melainkan kesadaran yang “dibumikan” dalam
praktik kehidupan bermasyarakat, sehingga kekritisan tersebut
tertransformasikan secara riil dalam tindakan untuk memperoleh perubahan
kondisi dalam masyarakat.
Tentang kesadaran sejati
tersebut, Habermas menyebutnya sebagai pencerahan, yang dapat dipahami sebagai
sebuah perlawanan dan kontra kekuatan terhadap mitos. Sebuah perlawanan karena
ia menentang kekuatan yang dipaksakan dari argumen yang lebih baik terhadap
normativitas otoritarian sebuah tradisi yang berhubungan dengan rentetan dari
beberapa generasi; sebagai kontra-kekuatan karena dengan wawasan yang diperoleh
secara individual dan diubah menjadi motif-motif, ia dianggap telah menghancurkan
pesona kekuatan kolektif (Habermas, 1987: 107).
Dalam perjalanannya,
pendidikan kritis mempunyai kometmen terhadap pemberdayaan dan pembebasan yang
mencita-citakan perubahan sosial dan struktural menuju masyarakat yang adil dan
demokratis. Dan karena membahas masalah pendidikan dan peranannya dalam
kaitannya dengan perubahan sosial, aliran ini terbagi menjadi dua paham.
Pertama, penganut paham reproduksi. Paham ini sangat pesimis bahwa pendidikan
mempunyai peran untuk perubahan sosial menuju transformasi sosial, menganggap
pendidikan dalam sistem Kapitalisme berperan untuk memproduksi sistem itu
sendiri. Pendidikan akan melahirkan peserta didik yang akan memperkuat sistem
dalam masyarakat, penyebab transformasi sosial. Kedua, paham produksi. Paham
ini meyakini pendidikan mampu menciptakan ruang untuk tumbuhnya resistensi dan
subversi terhadap sistem yang dominan. Pendidikan senantiasa memunyai aspek
pembebasan dan pemberdayaan, jika dilakukan melalui proses yang membebaskan
serta dilaksanakan dalam rangka membangkitkan kesaadaran kritis.
Dengan analisis kritis
terhadap posisi pendidikan dalam struktur sosial Kapitalisme saat ini,
pendidikan telah menjadi bagian yang mereproduksi sistem dan struktur yang ada,
sehingga pendidikan lebih menjadi masalah ketimbang pemecahan. Posisi
pendidikan lebih pada menyiapkan sumber daya manusia untuk mereproduksi sistem.
Dilemanya, terjadi saling ketergantungan secara dialektis antar pendidikan
kritis dan sistem sosial yang demokratis; pendidikan kritis membutuhkan ruang yang
demokratis dan sebaliknya, untuk membuat suatu ruang menjadi demokratis
diperlukan pendidikan kritis Fakta yang sekarang lebih menyeruak dalam
pendidikan adalah meletakkan peserta didik sebagai obyek pelatihan; penjinakan,
yang merupakan bagian dari dehumanisasi.
DAFTAR PUSTAKA
A. Tabrani Rusyan
dan Atang Kusdinar, 1992. Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Bertens, K. 1990.
Sejarah Filsafat Barat Abad XX; Inggris-Jerman, Penerbit Gramedia. Jakarta.
Blackburn, S.
1994, The Oxford Dictionary of Philosophy, Oxford University Press, New York.
Fakih, Mansour.
2002. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Edisi Revisi, Yogyakarta,
Insist Press.
Habermas, J. 1987.
The Philosophical Discourse of Modernity: Twelve Lectures, terj: Frederick G.
Lawrence, The MIT Press, Massachusetts.
Hardiman, Budi F.
1993, Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat dan Politik menurut
Jurgen Habermas, Yogyakarta, Kanisius.
Horkheimer, M.
& Adorno, Theodor W. 2002, Dialektika Pencerahan, terj: Ahmad Sahidah, Ircisod, Yogyakarta.
Jary, D. &
Jary, Julia. 1991, Sociology: The Harper Collins Dictionary, Harper Collins
Publisher Ltd., New York.
Kartono, D. T.
& Jaya, Fajar H.I. 2004, Lubang Kecil Menuju Teori Kritis, Pustaka Cakra,
Surakarta.
Munir, Misnal, tt,
Filsafat Kontemporer, Hand Out Kuliah Filsafat Kontemporer, Tidak diterbitkan.
Outhwaite, W.,
1998, “Adorno, Theodor Wiesengrund” dalam Stuart Brown dkk. (ed.), One Hundred Twentieth-Century
Philosophers, Routledge, London & New York.
Sindhunata, 1990,
Dilema Usaha Manusia Rasional: Kritik Masyarakat Modern oleh Marx Horkheimer
dalam Rangka Sekolah Frankfurt, Gramedia, Jakarta.
Van Peursen, C.A.,
1985, Susunan Ilmu Pengetahuan: Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu, alih bahasa oleh J. Drost, Gramedia,
Jakarta.
Kajian lain yg bs dipakai referensi :
BalasHapusSudarsana, I. K. (2016). PEMIKIRAN TOKOH PENDIDIKAN DALAM BUKU LIFELONG LEARNING: POLICIES, PRACTICES, AND PROGRAMS (Perspektif Peningkatan Mutu Pendidikan di Indonesia). Jurnal Penjaminan Mutu, (2016), 44-53.