Teori Kritis: Pendidikan yang berbasis pembebasan dengan cara berpikir kontekstualitas.



BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Pendidikan bersamaan dengan perkembangannya bertujuan membebaskan manusia menjadi manusia seutuhnya. Kebijakan dan aturan dalam dunia pendidikan di Indonesia berkali-kali mengalami perubahan dengan maksud penyempurnaan. Pada saat ini diluncurkan kurikulum 2013 yang seringkali ditegaskan sebagai penyempurna dari sebelumnya. Akan tetapi, benarkah kurikulum 2013 akan mampu menjawab tantangan pendidikan yang dituntut membebaskan manusia menuju suatu kreatifitas dan prestasi. Dengan demikian, untuk mencapai tujuan itu perlu adanya kajian ulang tentang pendidikan di Indonesia dengan teori kritis. Sebab, teori kritis yang dikenal dengan mazhab Frankfurt akan mengantarkan gagasan yang awalnya tekstual menuju kontekstual, sehingga akan terwujud suatu pembebasan dalam dunia pendidikan.
Mazhab Frankfurt (Frankfurt School) pertama kali muncul pada tahun 1923, tetapi baru pada sekitar tahun 1930 aliran ini dikenal di Jerman. Frankfurt School sering disebut dengan banyak nama, diantaranya Teori Kritis, Mazhab Frankfurt (Die Frankfuter Schule), atau Teori Kritik Masyarakat (Kartono dkk., 2004: 3). Tokoh-tokohnya antara lain Max Horkheimer, Theodor W. Adorno, Herbert Marcuse, dan Habermas. Pendekatan mereka sering disebut sebagai teori kritis (critical theory) (Blackburn, 1994: 146). Sedangkan Adorno, seperti dinyatakan William Outhwaite, merupakan the most important thinker of the Frankfurt School (Outhwaite, 1998: 2).
Awalnya Frankfurt School didirikan oleh Felix J. Weil, seorang sarjana politik, anak seorang pedagang gandum yang kaya raya. Lembaga itu didirikan tahun 1923 dan tidak pernah mau menggantungkan diri pada lembaga lain termasuk dengan Partai Komunis. Lembaga tersebut disebut Aliran Frankfurt (Frankfurter Schule) karena Institut Fur Sozialforschung berada di Frankfurt Jerman, dan diisi oleh orang-orang yang berpikiran kiri (progresif) dan benar-benar independen. Tujuan aliran ini adalah untuk menyegarkan ajaranajaran Marx sesuai kondisi saat itu (Sindhunata, 1990: 20).
Sejak awal tokoh-tokoh yang ada dalam lembaga penelitian ini melancarkan kritiknya dan melakukan penentangan terhadap kebijakan politik nasional-sosialisme. Apalagi kebanyakan anggotanya adalah keturunan Yahudi. Karena itu, setelah sempat ditutup atas perintah pemerintah nasional-sosialis ketika Hitler mulai berkuasa pada tahun 1933, institut ini pindah ke New York, namun kemudian kembali lagi ke Frankfurt pada tahun 1949 (K. Bertens, 1990: 177).
Dari sejarah awal lahirnya teori kritis tersebut dapat dijadikan sebuah acuan atau teoritis dalam mengkaji dunia pendidikan. Pada saat ini, pendidikan tampak kurang memperhatikan nilai kebebasan yang masih bersifat tekstual. Oleh karena itu, tulisan ini akan mengupas pendidikan dari sudut pandang teori kritis dengan tujuan menemukan pemecahan masalah, yaitu pendidikan yang berbasis pembebasan dengan cara berpikir kontekstualitas.

1.2    Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan menjadi fokus pembahasan adalah sebagai berikut:
1.2.1   Apa saja yang menjadi pokok-pokok pikiran Teori Kritis?
1.2.2   Bagaimanakah penerapan Teori Kritis dalam dunia pendidikan?

1.3    Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.3.1   Tujuan Umum
1.3.1.1  Dapat memahami apa saja yang menjadi pokok-pokok pikiran Teori Kritis.
1.3.1.2  Dapat memahami penerapan Teori Kritis dalam dunia pendidikan

1.3.2   Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas akhir semester mata kuliah Teori Sosial Budaya oleh bapak Prof. Dr. I Wayan Ardika, MA selaku dosen pembimbing pada Program Pasca Sarjana (S2) IHDN Denpasar.

1.4    Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang diharapkan dapat diambil dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.4.1        Sebagai tambahan khasanah keilmuwan yang dimiliki khususnya dapat mengerti dan memahami pokok-pokok pikiran Teori Kritis lebih mendalam lagi.
1.4.2        Sebagai salah satu bahan acuan dan rujukan setelah mengetahui penerapan Teori Kritis dalam dunia pendidikan.


BAB II
PEMBAHASAN

Teori kritis adalah sebuah aliran pemikiran yang menekankan penilaian reflektif dan kritik dari masyarakat dan budaya dengan menerapkan pengetahuan dari ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Dalam filsafat, istilah teori kritis menggambarkan filosofi neo-Marxis dari Frankfurt School, yang dikembangkan di Jerman pada 1930-an. Teori Frankfurt menarik tentang metode kritis Karl Marx dan Sigmund Freud. Teori Kritis menyatakan bahwa ideologi adalah kendala utama untuk pembebasan manusia. Teori Kritis didirikan sebagai sebuah sekolah pemikiran terutama oleh lima tokoh teori Mazhab Frankfurt: Herbert Marcuse, Theodor Adorno, Max Horkheimer, Walter Benjamin, dan Erich Fromm. Teori kritis modern telah bertambah dipengaruhi oleh György Lukacs dan Antonio Gramsci, serta generasi kedua sarjana Mazhab Frankfurt, terutama Jürgen Habermas. Dalam karya Habermas, teori kritis melampaui akar teoretis dalam idealisme Jerman, dan berkembang lebih dekat dengan pragmatisme Amerika. Kepedulian terhadap "dasar dan suprastruktur" sosial adalah salah satu yang tersisa dari konsep filsafat Marxis di banyak teori kritis kontemporer.
Untuk menggunakan perbedaan epistemologis yang diperkenalkan oleh Jürgen Habermas di Erkenntnis und Interesse (1968) (Pengetahuan dan Minat Manusia), teori kritis dalam studi sastra pada akhirnya merupakan bentuk hermeneutika; yaitu, pengetahuan melalui interpretasi untuk memahami makna teks manusia dan simbolis ekspresi -termasuk penafsiran teks-teks yang dengan sendirinya menafsirkan teks-teks lain. Teori sosial kritis adalah, sebaliknya, suatu bentuk pengetahuan refleksi diri yang melibatkan pemahaman dan penjelasan teoretis yang bertujuan untuk mengurangi jebakan dalam sistem dominasi atau ketergantungan.

2.1    Pokok-pokok Pikiran Teori Kritis
Mazhab Frankfurt sangat dekat dengan aliran Marxis, sehingga dapat dikatakan sebagai Neo-Marxis. Hal ini dapat dilihat dari landasan berpikir yang mendasari Teori Kritis dengan menggunakan landasan berpikir dari Karl Marx. Namun, para ahli dalam Mazhab Frankfurt tidak mau mengikuti begitu saja pemikiran Karl Marx, sehingga mereka melakukan perombakan atau penafsiran ulang ajaran Karl Marx. Karena itu, mereka melahirkan konsep-konsep yang berbeda dari Marxisme yang telah dibakukan menjadi ideologi. Akibatnya, oleh Marxisme Ortodok, aliran ini dianggap sebagai alirang murtad. Meskipun demikian, Mazhab Frankfurt dan golongan pembaharu Marxis lainnya tetap memakai analisis ataupun semangat Marx muda untuk melihat masyarakat modern.
Marxisme dalam perkembangannya dapat digolongkan ke dalam tiga aliran besar. Pertama, golongan yang sering dikatakan sebagai Marxisme kanan atau Marxisme Ortodoks. Kelompok ini membakukan ajaran Karl Marx yang dilanjutkan oleh Engels dan kemudian ditafsirkan oleh Lenin menjadi ideologi baku. Golongan kedua, merupakan kelompok yang melihat ketidaksesuaian penafsiran golongan pertama terhadap konsep Marxisme karena mereka mengatakan Kapitalisme akan runtuh dengan sendirinya, tetapi terbukti sampai saat ini tidak runtuh-runtuh tetapi justru malah menguat. Golongan ketiga, merupakan penggolongan dalam tingkat ekonomi makro mengenai hubungan antarnegara. Teori mereka mengenai hubungan antara negara dunia ketiga dengan dunia maju, yang tidak lebih dari hubungan penghisapan. Negara maju ternyata menyedot kekayaan dari dunia ketiga, karena meskipun negara maju memberikan dollar sebagai pinjaman untuk investasi, tetapi di balik itu negara dunia ketiga harus menandatangani kontrak kesepakatan.
Secara garis besar, pokok-pokok pikiran Teori Kritis dapat dicirikan sebagai berikut:
Pertama  :  Bahwa filsafat bukan hanya kontemplasi, yakni perenungan tentang sesuatu yang tidak menyentuh realitas kehidupan.
Kedua     :  Filsafat seharusnya dapat mengubah masyarakat berupa pembebasan manusia dari hegemoni yang timbul sebagai akibat dari pekerjaannya.
Ketiga     :  Objek analisisnya adalah masyarakat masa kini, bukan masyarakat ketika Marx masih hidup.
Keempat :  Suatu pencerahan sebagai upaya menyadarkan manusia tentang kemajuan semu masyarakat industri yang dehumanis.
Kelima    :  Menolak perubahan dengan cara revolusioner, karena terbukti revolusi telah mengakibatkan hal-hal yang lebih mengerikan dan suasana represi yang lebih jahat (Munir, tt: 9).

Beberapa sumbangan yang diberikan oleh Mazhab Frankfurt yaitu:
1.    Perdebatan tentang sebuah epistemologi non-positivis yang cocok dengan ilmu-ilmu sosial.
2.    Catatan tentang formasi struktural dan kultural yang dominan dari masyarakat kapitalis dan masyarakat sosialis.
3.    Penggabungan ide-ide yang berasal dari Marx dan Freud, yang menghasilkan sebuah radikalisasi terhadap teori Freudian dan penetapan Marxisme dengan teori kepribadian yang lebih utuh. Semua itu terutama didasarkan pada sebuah pemulihan terhadap pemikiran filsafat Marx muda dan suatu pembaharuan terhadap penafsiran resmi Soviet terhadap Marxisme yang dilihat oleh teoritisi Frankfurt sebagai terlalu deterministik dan ekonomistik (Jary dkk., 1991: 178-179).

2.2    Teori Kritis Dalam Dunia Pendidikan
Asumsi tentang ilmu pengetahuan dan nilai dalam Teori Kritis menolak pernyataan bahwa teori harus objektif, hanya menggambarkan apa adanya mengenai dunia, lepas dari subjektivitas manusia (Kartono dkk., 2004: 84). Ini mengantarkan pada anggapan bahwa yang objektif inilah yang benar dan penafsiran mengenai dunia hanya ada satu. Teori seakan-akan menunjukkan apa adanya atau dapat ditarik menjadi suatu generalisasi yang ilmiah. Hasil dari sebuah penelitian melahirkan sebuah formula yang dapat diterapkan di mana pun.
Teori yang mengklaim dirinya objektif justru sebenarnya tidak objektif karena fakta-fakta sosial dibuat oleh manusia. Dalam hal ini Teori Kritis berangkat dari kaedah yang dipegang oleh Marxisme Ortodok (Materialisme Dialektis), bahwa objektivitas sejati adalah pemihakan sejati. Suatu ilmu yang beranggapan dapat bersifat netral sungguh-sungguh, sebetulnya menindas massa. Pendirian ideologis ini mengakibatkan banyak konflik dengan ilmu, yang untuk sebagian dapat diatasi melalui tafisran lebih luwes mengenai asas-asas tersebut (van Peursen, 1985: 72).
Teori yang hanya melakukan penglihatan secara objektif dan bebas nilai dalam masyarakat, sama artinya tidak mampu mengungkapkan kondisi yang menindas; bahkan karena didengung-dengungkan bebas nilai, maka tidak memperbolehkan menilai suatu kondisi masyarakat. Hal itu ironis karena teori pada dasarnya diciptakan untuk mendapatkan kondisi yang lebih baik. Pandangan Teori Kritis lebih luwes daripada Marxisme Ortodok, walau pun mereka tetap mendukung pengaruh ideologis pada ilmu. Masalah pertama yang menonjol adalah anggapan dialektis mengenai kenyataan yang mengarahkan struktur ilmu pengetahuan. Asumsi ini terutama terdapat pada Mazhab Frankfurt, antara lain Adorno dan Habermas, dan secara tidak langsung juga pada Marcuse (van Peursen, 1985: 73).
Teori Kritis mempunyai suatu ciri tersendiri dalam penelitiannya. Pertama, adalah gaya pemikiran historis, yaitu pengandaian bahwa realitas sosial yang sedang terjadi saat ini hanya dapat dipahami apabila dilihat sebagai suatu proses sejarah. Banyak sekali hal-hal yang menyelubungi fakta-fakta yang dilihat manusia, sehingga tidak objektif lagi. Ilmu-ilmu positivis tidak melihat sampai sejauh itu sehingga tidak mampu mengungkap realitas dari awal yang mendasarinya. Ini dapat dimengerti karena Aliran Kritis percaya bahwa sejarah adalah ciptaan manusia sendiri dan ternyata sejarah yang terjadi adalah sejarah penindasan; maka harus dipahami bagaimana fakta itu terjadi secara historis. Kedua, yaitu gaya pemikiran “materialis”.
Teori kritis dalam dunia pendidikan sangat berpengaruh khususnya tentang Ilmu Pengetahuan Tidak Bebas Nilai. Untuk memahami perdebatan dalam persoalan prinsip “bebas-nilai” dalam ilmu-ilmu umumnya, sebaiknya mengkaji pembedaan ilmu berdasarkan ilmu yang teoritis dan praktis. Cita-cita ilmu teoritis adalah memberikan penjelasan tentang suatu realitas (kenyataan) tanpa sikap berpihak, dan tanpa dipengaruhi oleh hasrat dan keinginan tertentu. Jadi, pengetahuan yang ingin didapat adalah pengetahuan yang berasal realitas obyektif. Pengetahuan teoritis melukiskan kenyataan yang ada, dan sebatas pada deskripsi atas kenyataan itu, bukan justru melukiskan kenyatan yang dinginkan atau dikehendaki. Sedangkan pengetahuan yang praktis sudah masuk pada sikap bagaimana melakukan kerja teoritis itu yang kemudian menghasilkan pengetahuan yang kurang obyektif, yang berpihak pada kepentingan dan keinginan tertentu, yang tidak lagi disinterested. Dalam pengetahuan yang kedua ini persoalan nilai menjadi sesuatu yang pasti akan terjadi. Berbicara soal kepentingan, Habermas menyebut ada tiga kepentingan kognitif yang bertengger di balik ilmu pengetahuan dalam tiga bidang keilmuan (Hardiman, 1993: 8-10): ilmu alam, ilmu-ilmu historis-hermenutis, dan ilmu-ilmu kritis.
Dalam ilmu alam yang berikhtiar menemukan hukum alam, akhirnya ada upaya penguasaan teknis atas proses-proses yang dianggap obyektif. Ilmu historis-hermeneutis tidak disusun secara deduktif dengan acuan kontrol teknis, tapi yang di-lakukannya adalah menafsirkan teks dengan kepentingan mencapai saling pengertian dan konsensus. Sedangkan pada ilmu-ilmu kritis yang dikandungnya adalah kepentingan kognitif emansipatoris yang dilakukan lewat jalan refleksi diri seorang ilmuan. Dengan demikian Habermas menapik asumsi banyak kalangan dengan mengatakan bahwa pengetahuan itu tidak mungkin berdiri tanpa kepentingan apapun, walaupun tetap diakuinya bahwa pengetahuan itu tidak boleh membiarkan subyektivitas mendominasi. Jürgen Habermas membuat lima butir tesis dalam teorinya atas pengetahuan (Hardiman, 1993:11-14).
Pertama    :  Pencapaian-pencapaian subyek transedental memiliki dasar dalam sejarah alam spesies manusia.
Kedua      :  Pengetahuan berlaku sebagai alat pertahanan diri sekaligus melampaui pertahanan diri semata-mata.
Ketiga      :  Kepentingan-kepentingan kognitif manusia itu berada pada tiga medium organisasi sosial, yakni: kerja, bahasa, dan kekuasaan.
Keempat  :  Di dalam kekuatan refleksi diri, pengetahuan dan kepentingan menyatu. dan
Kelima     : Kesatuan antara pengetahuan dan kepentingan dapat dibuktikan dalam suatu dialektika yang memiliki jejakjejak sejarahnya dari dialog yang ditindas dan merekonstruksi apa yang telah ditindas.
Aliran Frankfurt masuk dalam taraf yang ketiga tersebut, yaitu menjadikan responden benar-benar sebagai subjek atau “objek adalah subjek”, dan ini sangat berbeda dengan aliran empiris-analitis. Aliran Kritis mirip dengan golongan historis-hermeneutika, tetapi hasil akhirnya sangat berbeda karena hermeneutika membongkar makna di balik tindakan manusia yang kemudian dideskripsikan, sedangkan aliran kritis berusaha melakukan refleksi sehingga akan didapatkan pengetahuan yang akhirnya akan ditindaklanjuti dengan action untuk memperoleh perubahan dari dalam masyarakat (Kartono dkk., 2004: 86-87). Lebih jauh, Habermas (Fakih, 2002: 23-29) membagi ilmu-ilmu sosial ke dalam tiga paradigma. Pertama, paradigma instrumental. Dalam paradigma “instrumental” ini, pengetahuan lebih dimaksudkan untuk menaklukkan dan mendominasi obyeknya.
Dalam duia pendidikan setelah mencermati teori kritis, maka sesungguhnya saya menemukan ada beberapa ciri khas yang merupakan corak tradisi Teori Kritis dalam dunia pendidikan.
1.    Teori kritis memberi kebebasan subjek (Baca sebagai Peserta Didik); artinya subjek  dipandang sebagai sesuatu yang utama (pusat realitas), manusia sebagai subjek mempunyai kehendak yang mampu mengubah kondisi sosial dan membuat sejarah. Ini dijadikan inspirasi dalam penelitian kritis, bahwa konsep kebebasan subjek ini dapat membawa pada orientasi bahwa dalam pendidikan, manusia akan mendapat perhatian besar. Manusia yang dipandang sebagai subjek didik sangat ditekankan, dan segala unsur lainnya dalam pendidikan (seperti kurikulum, fasilitas pendidikan, dan lainnya) untuk pemenuhan 8 SNP akan dipandang dan dimanfaatkan secara optimal sebagai sarana yang mampu membantu mengantarkan manusia (peserta didik) menjadi manusia yang berkualitas yang mampu mengubah kondisi sosial dan membuat sejarah.
2.    Responden dalam penelitian kritis tidak dipandang sebagai objek (Baca sebagai Pendidik), melainkan dipahami sebagai subjek (Baca sebagai Peserta Didik) yang bebas. Teori Kritis mempunyai sifat membebaskan peserta didik dari penindasan yang sifatnya semu. Hal tersebut harus dijelaskan dengan menumbuhkan kesadaran melalui rasio, kemudian dipaparkan dengan analisis yang sifatnya psikologi, tetapi dalam lingkup yang lebih luas yaitu masyarakat sekolah. Penerapan ajaran tersebut dalam pelaksanaan pendidikan akan membawa pada penekanan pentingnya rasio yang akan mengantarkan manusia untuk semakin berpikir kritis sehingga tidak ‘terlena’ dalam kondisi tertindas (penindasan di sini dalam arti luas: tidak saja penindasan dalam arti fisik, tetapi dapat juga penindasan dalam arti khusus seperti pemaksaan suatu pandangan tertentu dan lain-lainnya yang kerap kali terjadi di dunia pendidikan).
3.    Cara berpikir dialektika dapat dipakai untuk menumbuhkan kesadaran sejati. Teori Kritis tidak berhenti pada hal kesadaran yang sifatnya abstrak dan menerawang, tetapi bagaimana hal tersebut akan mampu membumi melalui praktik, sehingga dalam penelitian Teori Kritis tidak berakhir pada paparan deskriptif, tetapi sampai pada aksi yaitu kritis transformatif pada penumbuhan karakter. Teori Kritis yang diterapkan dalam sistem pendidikan akan menekankan pada orientasi bahwa subjek (Baca Peserta Didik) mampu menumbuhkan kesadaran sejati, suatu kesadaran yang tidak abstrak belaka, melainkan kesadaran yang “dibumikan” dalam praktik kehidupan bermasyarakat, sehingga kekritisan tersebut tertransformasikan secara riil dalam tindakan untuk memperoleh perubahan kondisi dalam masyarakat melalui proses dunia pendidikan.
Dalam setiap proses pendidikan dihadapkan kepada pilihan antara menyesuaikan diri dan mereproduksi sistem yang telah ada, atau memerankan peran kritis terhadap sistem itu. Politik dan ekonomi dengan ilmu pengetahuan berkolaborasi untuk mencapai suatu tujuan, meskipun mesti ‘menjual’ nilai mulia kemanusiaan. Hal ini dapat dilihat lewat contoh percobaan dari suatu teori, misalnya, rekayasa genetika. Ilmu pengetahuan yang mempertahankan obyektifitasnya menjadi sangat subyektif. Khusus terkait dengan proses pendidikan, dalam kurikulum 2013 sesungguhnya adalah kritik terhadap kegagalan hasil output dan outcome kurikulum KTSP (2006) terhadap pengimplementasian yang utuh baik kompetensi sikap (sikap spiritual dan sikap sosial), maupun kompetensi pengetahuan dan keterampilan.

BAB III
SIMPULAN

Teori Kritis berbeda dengan teori filsafat tradisional yang hanya bersifat kontemplatif ataupun ‘lamunan’ yang jauh dari kehidupan manusia dalam masyarakat yang nyata. Teori Kritis dipahami sebagai teori pewaris Karl Marx, sebagai teori yang bersifat materialis emansipatoris. Teori Kritis berusaha menjadi praktis untuk melakukan perubahan terhadap segala realitas yang dianggap menindas atau mengalienasi manusia, dengan tujuan untuk menciptakan masyarakat emansipatoris bebas dari penindasan.
Pemikiran-pemikiran Teori Kritis tersebut bila diterapkan dalam dunia pendidikan akan memberikan beberapa ciri pokok. Pertama, karena manusia dipandang sebagai subjek yang mempunyai kehendak yang mampu mengubah kondisi sosial dan membuat sejarah. Kedua, dengan menumbuhkan kesadaran melalui rasio, Teori Kritis mempunyai sifat membebaskan masyarakat dari penindasan yang sifatnya semu. Ketiga, cara berpikir dialektika dalam Teori Kritis yang diterapkan dalam sistem pendidikan akan menekankan pada orientasi bahwa subjek-didik mampu menumbuhkan kesadaran sejati, suatu kesadaran yang tidak abstrak belaka, melainkan kesadaran yang “dibumikan” dalam praktik kehidupan bermasyarakat, sehingga kekritisan tersebut tertransformasikan secara riil dalam tindakan untuk memperoleh perubahan kondisi dalam masyarakat.
Tentang kesadaran sejati tersebut, Habermas menyebutnya sebagai pencerahan, yang dapat dipahami sebagai sebuah perlawanan dan kontra kekuatan terhadap mitos. Sebuah perlawanan karena ia menentang kekuatan yang dipaksakan dari argumen yang lebih baik terhadap normativitas otoritarian sebuah tradisi yang berhubungan dengan rentetan dari beberapa generasi; sebagai kontra-kekuatan karena dengan wawasan yang diperoleh secara individual dan diubah menjadi motif-motif, ia dianggap telah menghancurkan pesona kekuatan kolektif (Habermas, 1987: 107).
Dalam perjalanannya, pendidikan kritis mempunyai kometmen terhadap pemberdayaan dan pembebasan yang mencita-citakan perubahan sosial dan struktural menuju masyarakat yang adil dan demokratis. Dan karena membahas masalah pendidikan dan peranannya dalam kaitannya dengan perubahan sosial, aliran ini terbagi menjadi dua paham. Pertama, penganut paham reproduksi. Paham ini sangat pesimis bahwa pendidikan mempunyai peran untuk perubahan sosial menuju transformasi sosial, menganggap pendidikan dalam sistem Kapitalisme berperan untuk memproduksi sistem itu sendiri. Pendidikan akan melahirkan peserta didik yang akan memperkuat sistem dalam masyarakat, penyebab transformasi sosial. Kedua, paham produksi. Paham ini meyakini pendidikan mampu menciptakan ruang untuk tumbuhnya resistensi dan subversi terhadap sistem yang dominan. Pendidikan senantiasa memunyai aspek pembebasan dan pemberdayaan, jika dilakukan melalui proses yang membebaskan serta dilaksanakan dalam rangka membangkitkan kesaadaran kritis.
Dengan analisis kritis terhadap posisi pendidikan dalam struktur sosial Kapitalisme saat ini, pendidikan telah menjadi bagian yang mereproduksi sistem dan struktur yang ada, sehingga pendidikan lebih menjadi masalah ketimbang pemecahan. Posisi pendidikan lebih pada menyiapkan sumber daya manusia untuk mereproduksi sistem. Dilemanya, terjadi saling ketergantungan secara dialektis antar pendidikan kritis dan sistem sosial yang demokratis; pendidikan kritis membutuhkan ruang yang demokratis dan sebaliknya, untuk membuat suatu ruang menjadi demokratis diperlukan pendidikan kritis Fakta yang sekarang lebih menyeruak dalam pendidikan adalah meletakkan peserta didik sebagai obyek pelatihan; penjinakan, yang merupakan bagian dari dehumanisasi.


DAFTAR PUSTAKA

A. Tabrani Rusyan dan Atang Kusdinar, 1992. Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar, Bandung: Remaja Rosdakarya.

Bertens, K. 1990. Sejarah Filsafat Barat Abad XX; Inggris-Jerman, Penerbit Gramedia. Jakarta.

Blackburn, S. 1994, The Oxford Dictionary of Philosophy, Oxford University Press, New York.

Fakih, Mansour. 2002. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Edisi Revisi, Yogyakarta, Insist Press.

Habermas, J. 1987. The Philosophical Discourse of Modernity: Twelve Lectures, terj: Frederick G. Lawrence, The MIT Press, Massachusetts.

Hardiman, Budi F. 1993, Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu, Masyarakat dan Politik menurut Jurgen Habermas, Yogyakarta, Kanisius.

Horkheimer, M. & Adorno, Theodor W. 2002, Dialektika Pencerahan, terj: Ahmad Sahidah, Ircisod, Yogyakarta.

Jary, D. & Jary, Julia. 1991, Sociology: The Harper Collins Dictionary, Harper Collins Publisher Ltd., New York.

Kartono, D. T. & Jaya, Fajar H.I. 2004, Lubang Kecil Menuju Teori Kritis, Pustaka Cakra, Surakarta.

Munir, Misnal, tt, Filsafat Kontemporer, Hand Out Kuliah Filsafat Kontemporer, Tidak diterbitkan.

Outhwaite, W., 1998, “Adorno, Theodor Wiesengrund” dalam Stuart Brown dkk. (ed.), One Hundred Twentieth-Century Philosophers, Routledge, London & New York.

Sindhunata, 1990, Dilema Usaha Manusia Rasional: Kritik Masyarakat Modern oleh Marx Horkheimer dalam Rangka Sekolah Frankfurt, Gramedia, Jakarta.


Van Peursen, C.A., 1985, Susunan Ilmu Pengetahuan: Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu, alih bahasa oleh J. Drost, Gramedia, Jakarta.

Komentar

  1. Kajian lain yg bs dipakai referensi :

    Sudarsana, I. K. (2016). PEMIKIRAN TOKOH PENDIDIKAN DALAM BUKU LIFELONG LEARNING: POLICIES, PRACTICES, AND PROGRAMS (Perspektif Peningkatan Mutu Pendidikan di Indonesia). Jurnal Penjaminan Mutu, (2016), 44-53.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEBERADAAN, PENGARUH DAN HUBUNGAN AGAMA HINDU DENGAN KONSEPSI ESTETIKA DI BALI

KISI-KISI SOAL UJIAN PEMANTAPAN AGAMA HINDU