UTS Psikologi Agama Hindu

Nama                  : Komang Edi Putra
NIM                    : 16.1.2.5.2.0929
No Absen           : 17
Mata Kuliah      : Psikologi Agama Hindu
Jenjang               : S2 (Dharma Acharya)
Semester            : II (Genap)
Jenis Soal           : Take Home
 



Soal:
1.        Bagaimanakah kaitan psikologi agama dengan pendidikan agama Hindu?
Jawab:
Psikologi agama berasal dari dua suku kata, yaitu psikologi dan agama. Kedua kata ini memiliki pengertian yang berbeda. Psikologi secara umum diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang gejala jiwa manusia yang normal, dewasa dan beradab (Jalaluddin, dkk). Sedangkan Agama, menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada tuhan, atau juga disebut dengan nama dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut. Menurut Harun Nasution, agama berasal darikata Al-Din yang berarti undang -undang/ hukum, religi (latin) atau relege berarti mengumpulkan dan membaca. Kemudian religare berarti mengikat. Dan kata Agama terdiri dari kata akronim dari A yang artinya TIDAK, dan GAM yang artinya PERGI yang berarti tetap di tempat dan diwarisi turun menurun.
Menurut Zakiah Darajat, psikologi agama adalah meneliti dan menelaah kehidupan beragama pada seseorang yang mempelajari berapa besar pengaruh kenyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku serta keadaan hidup pada umumnya. Di samping itu, psikologi agama juga mempelajari pertumbuhan dan perkembangan jiwa agama pada seseorang, serta faktor-faktor yang mem pengaruhi kenyakinan tersebut. Dengan demikian dapat didefinisikan, psikologi agama adalah ilmu yang membahas tentang aktivitas dalam diri manusia dan mencakup salah satu aspek jiwa yaitu agama.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, disebutkan bahwa: Pendidikan Agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan antarumat beragama (Pasal 2 ayat 1). Selanjutnya, disebutkan bahwa Pendidikan Agama bertujuan untuk berkembangnya kemampuan siswa dalam memahami, menghayati, dan mengamalkan nilai-nilai Agama yang menyerasikan penguasaannya dalam ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (Pasal 2 ayat 2).
Pendidikan  Agama Hindu adalah usaha sadar yang dilakukan oleh mereka yang memiliki tanggung jawab untuk menyiapkan anak dalam memahami, menyakini, menghayati, dan mengamalkan ajaran agama Hindu sebagai wujud pengamalan pancasila melalui bimbingan pengajaran  dan latihan dengan memperhatikan tuntunan saling hormat menghormati antar umat beragama dalam kehidupan bermasyarakat, untuk mewujudkan persatuan nasional. Adapun dimaksud bertanggung jawab dalam pengertian  ini adalah orang tua. Sedangkan para guru atau pendidik lainnya adalah merupakan perpanjangantangan para orang tua.
Kaitan antara psikologi agama dengan pendidikan agama Hindu sangat terkait dengan tujuan pendidikan yakni menanamkan nilai kebaikan dan keadilan dalam diri seseorang. Tujuan pendidikan agama Hindu adalah membina manusia secara pribadi dan kelompok sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai bhakta, guna membangun dunia ini sesuai dengan konsep yang ditetapkan Sang Hyang Widhi. Atau dengan kata yang lebih singkat dan sering digunakan oleh Weda, untuk berbhakti kepada-Nya.
Pendidikan agama Hindu sangat erat kaitannya dengan psikologi agama, bahkan psikologi agama digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam pelaksanaan pendidikan Hindu. Perkembangan agama pada masa anak, terjadi melalui pengalaman hidupnya sejak kecil, dalam keluarga, disekolah dan dalam lingkungan masyarakat. Semakin banyak pengalaman yang bersifat agama (sesuai dengan ajaran agama) dan semakin banyak unsur agama, maka sikap, tindakan dan caranya menghadapi hidup akan sesuai dengan ajaran agama.
Ilmu pengetahuan yang diperoleh lewat pendidikan formal pada masing-masing jenjang sangat bermanfaat untuk dirinya sendiri dan dapat disumbangkan untuk kemajuan bangsa dan Negara. Pedekatan psikologi dalam pendidikan agama Hindu telah ada sejak dulu dan mempunyai sejarah yang cukup tua. Hal ini dapat dibuktikan dari naskah-naskah Hindu kuno seperti kitab suci weda, Upanisad, Ramayana, dan MahaBratha.
Sri Krishna dalam perang suci Kuruksetra (Mahabharata) pernah menerapkan kaidah yaitu memperhatikan kondisi psikologis dan bertahap dalam memberikan pengertian tentang kebenaran kepada Arjuna. Jadi proses belajar mengajarnya kini juga didasarkan pada hal tersebut. Pengajar yang dilakukan oleh beliau teratur dan sesuai dengan prinsip tahapan dan kemudahan, sehingga proses belajar mngajar dapat berlangsung tanpa ada kebosanan dan sesaut yang memberatkan bagi orang-orang yang belajar. Dalam hal ini, Arjuna berkata “ Sri Ksrihna adalah guru ilahi yang memberikan nasehat kepada Arjuna sebelum berperang untuk menghindari keragu-raguan”.
Untuk mencapai keberhasilan, seorang pendidik perlu memperhatikan perkembangan keberagamaan seseorang. Pendidikan tanpa agama akan pincang, yaitu terjadi ketidak seimbangan antara moralitas dengan pengetahuan yang dimilikinya. Seperti dicontohkan ada anak yang menguasai teknologi komputer karena tidak dibarengi oleh jiwa keagamaan maka pengetahuannya dipakai mencuri uang di bank. Sebaliknya pengetahuan keagamaan tanpa dibarengi manajemen pendidikan yang baik maka akan percuma. Pendidikan dinilai punya peran penting dalam menanamkan rasa keagamaan pada seseorang. Pembinaan moral terjadi melalui pengalaman-pengalaman dan pembiasaan yang diperoleh sejak kecil. Kebiasaan itu tertanam berangsur sesuai dengan kecerdasan seseorang.

2.        Jelaskan tentang timbulnya keagamaan pada anak?
Jawab:
Dalam proses diamana seorang anak mulai menganal agama, tentunya hal itu tidak berlangsung begitu saja, terdapat beberapa teori di mana rasa keberagamaan si anak mulai muncul. Adapun teori-teori timbulnya jiwa keagamaan pada anak yaitu Teori Rasa ketergantungan, dan teori Instink keagamaan.
Menurut beberapa ahli anak dilahirkan bukanlah sebagai makhluk yang religious. Adapula yang berpendapat sebaliknya bahwa anak sejak dilahirkan telah membawa fitrah keagamaan. Fitrah itu baru berfungsi di kemudian hari melalui proses bimbingan dan latihan setelah berada pada tahap kematangan.
Jika dikaji dari teori Rasa ketergantungan (Sense of Depende) tentang timbulnya keagamaan pada anak, maka teori yang  dikemukakan oleh Thomas melalui teori Four Wishes mengatakan bahwa manusia dilahirkan ke dunia ini memiliki empat keinginan yaitu: keinginan untuk perlindungan (security), keinginan akan pengalaman baru (new experience), keinginan untuk mendapat tanggapan (response) dan keinginan untuk dikenal (recognition). Berdasarkan kenyataan dan kerjasama dari keempat keinginan itu, maka bayi sejak dilahirkan hidup dalam ketergantungan. Melalui pengalaman-pengalaman yang diterimanya dari lingkungan itu kemudian terbentuklah rasa keagamaan pada diri anak.
Jika dikaji dari teori Instink Keagamaan, Menurut Woodworth menyatakan bahwa bayi yang dilahirkan sudah memiliki beberapa instink di antaranya instink keagamaan. Belum terlihat tindak keagamaan pada diri anak karena beberapa fungsi kejiwaan yang menopang kematangan berfungsinya instink itu belum sempurna. Misalnya instink sosial pada anak sebagai potensi bawaannya sebagai makhluk homo socius, baru berfungsi setgelah naka dapat bergaul dan berkembang untuk berkomunikasi. Jadi instink sosial itu tergantung dari kematangan fungsi lainnya. Demikian pula instink keagamaan.

3.        Jelaskan bentuk dan sifat agama pada anak?
Jawab:
Memahami konsep keagamaan pada anak-anak berarti memahami sifat agama pada anak-anak. Sesuai dengan ciri yang mereka miliki, maka sifat agama pada anak-anak tumbuh mengikuti pola ideas concept on outhority. Ide keagamaan pada anak sepenuhnya autoritaruis, maksudnya konsep keagamaan pada diri mereka dipengaruhi oleh faktor dari luar diri mereka. Hal tersebut dapat dimengerti karena anak sejak usia muda telah terlihat, mempelajari hal-hal yang berada diluar diri mereka. Mereka telah melihat dan mengikuti apa-apa yang dikerjakan dan diajarkan orang dewasa dan orang tua mereka tentang sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan keberagamaan. Orang tua mempunyai pengaruh terhadap anak sesuai dengan prinsif dengan eksplorasi yang mereka miliki. Dengan demikian ketaatan kepada ajaran agama merupakan kebiasaan yang menjadi milik mereka yang mereka pelajari dari para orang tua  maupun guru mereka. Bagi mereka sangat mudah  untuk menerima ajaran dari orang dewasa walaupun belum mereka sadari sepenuhnya manfaat ajaran tersebut. Berdasarkan hal itu, maka bentuk dan sifat agama pada diri anak dapat dibagi atas:
1.      Unreflective ( Tiak mendalam)
Dalam penelitian Machion tentang jumlah konsep ke Tuhanan pada diri anak 73% mereka menganggap Tuhan itu bersifat seperti manusia. Dalam suatu sekolah bahkan ada siswa yang mengatakan bahwa Sri Kriishna adalah manusia biasa. Dengan demikian anggapan mereka terhadap ajara agama dapat saja mereka terima dengan tanpa kritik. Kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam sehingga cukup sekedarnya saja dan mereka sudah merasa puas dengan keterangan yang kadang-kadang kurang masuk akal. Meskipun demikian pada beberapa orang anak terdapat mereka yang memiliki ketajaman pikiran  untuk menimbang pendapat yang mereka terima dari orang lain.
Penelitian Praff mengemukakan bahwa suatu peristiwa seorang anak mendapat keterangan  dari ayahnya bahwa Tuhan selalu mengabulkan permintaan Pemuja-Nya. Anak saya Savitri saya ajak pergi, lalu dalam perjalanan ia melihat sebuah toko berby. Savitri tertarik pada sebuah boneka barby. Sekembalinya ke rumah ia langsung berdoa kepada Sang Hyang Widhi untuk apa yang diingininya itu. Karena hal itu diketahui oleh ibunya, maka itu ditegur. Ibunya berkata bahwa dalam berdoa tak boleh seseorang memaksakan Hyang Widhi untuk mengabulkan barang yang diinginkannya itu. Mendengar hal tersebut anak tadi langsung mengemukakan pertanyaan “ kok begitu ma “?
contoh  tersebut menunjukkan bahwa Savitri sudah menunjukkan pemikiran yang kritis, walaupun bersifat sederhana, Di sini menunjukkan bahwa anak meragukan kebenaran ajaran agama pada aspek-aspek yang bersifat kongkret.
2.      Egosentris
Anak memiliki kesadaran akan diri sendiri sejak tahun pertama usia perkembangannya dan akan berkembang sejalan dengan pertambahan pengalamannya. Apabila kesadaran akan diri itu mulai subur pada diri anak, maka akan tumbuh keraguan pada rasa egonya. Sehubungan dengan hal itu, maka dalam masalah keagamaan anak telah menonjolkan kepentingan dirinya dan telah menuntut konsep keagamaan yang mereka pandang dari kesenangan pribadinya.
3.        Anthromorphis
Pada umumnya konsep mengenai keTuhanan pada anak berasal dari hasil pengalamannya ke kala ia berhubungan dengan orang lain. Tapi suatu kenyataan bahwa konsep keTuhanan mereka tampak jelas menggambarkan aspek-aspek kemanusiaan. Melalui konsep yang berbentuk dalam pikiran mereka menganggap bahwa perikeadaan Tuhan itu sama dengan manusia. Pekerjaan Tuhan mencari dan menghukum orang yang berbuat jahat di saat orang itu berada dalam tempat yang gelap. Surga terletak di langit dan untuk tempat orang yang baik. Anak menganggap bahwa Tuhan dapat melihat segala perbuatannya langsung ke rumah-rumah mereka sebagai layaknya orang mengintai.
4.      Verbalis dan Ritualis
Dari kenyataan yang kita alami ternyata kehidupan agama pada anak-anak sebagian besar tumbuh mula-mula secara verbal (ucapan). Mereka menghapal secara verbal kalimat-kalimat keagamaan dan selain itu pula dari amaliah yang mereka laksanakan berdasarkan pengalaman menurut tuntutan yang diajarkan kepada mereka.
5.        Imitatif
Dalam kehidupan sehari-hari dapat kita saksikan bahwa tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak-anak pada dasarnya diperoleh dari meniru. Berdoa dan sholat misalnya mereka laksanakan karena hasil melihat perbuatan di lingkungan, baik berupa pembiasaan ataupun pengajaran yang intensif. Pada ahli jiwa menganggap, bahwa dalam segala hal anak merupakan peniru yang ulung. Sifat peniru ini merupakan modal yang positif dalam pendidikan keagamaan pada anak.
6.      Rasa heran dan kagum
Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan yang terakhir pada anak. Berbeda dengan rasa kagum yang ada padaorang dewasa, maka rasa kagum pada anak ini belum bersifat kritis dan kreatif. Mereka hanya kagum terhadap keindahan lahiriyah saja. Hal ini merupakan langkah pertama dari pernyataan kebutuhan anak akan dorongan untuk mengenal sesuatu yang baru (new experience). Rasa kagum mereka dapat disalurkan melalui cerita-cerita yang menimbulkan rasa takjub. Seperti contoh, melihat lidahnya yang mampu mengecap bersagai rasa (sad Rasa), Hidungnya yang mampu mencium berbagai bau, Bola matanya yang hitam putih mampu melihat berbagai aneka warna.

4.        Dalam perkembangan keagamaan pada remaja terdapat beberapa perkembangan, sebutkan dan jelaskan perkembangan pada remaja!

Jawab:
Masa remaja merupakan masa pencapaian identitas, bahkan bisa dikatakan perjuangan pokok pada masa remaja adalah antara identitas dan kekacauan peran. Pada waktu orang remaja menemukan siapa dirinya yang sebenarnya atau identitasdiri, tumbuhlah kemampuan untuk mengikat kesetiaan kepada suatu pandangan atau ideology. Pada usia remaja, sering kali kita melihat mereka mengalami kegoncangan atau ketidakstabilan dalam beragama. Misalnya, mereka kadang-kadang sangat tekun sekali menjalankan ibadah, tetapi pada waktu lain enggan melaksanakannya. Bahkan menunjukkan sekiap seolah-olah anti agama. Hal tersebut karena perkembangan jasmani dan rohani yang yang terjadi pada masa remaja turut mempengaruhi perkembangan agamannya. Dengan pengertian bahwa penghayatan terhadap ajaran dan tindak keagamaan yang tampak pada para remaja banyak berkaitan dengan faktor perkembangan jasmani dan mereka.
Pengalaman para remaja dapat menunjukkan adanya beberapa sikap remaja terhadap agama, yaitu; Remaja menerima agama secara global, Remaja menerima agama dengan perasaan acuh tak acuh, Membantah dan diiringi dengan sikap kritis, Menerima agama dengan ragu-ragu, dan Melaksanakan agama dengan keyakinan.
Adapun perkembangan keagamaan pada remaja yaitu:

a.      Masa Remaja Awal (12-18 tahun)
Pada masa ini terjadi perubahan jasmani yang cepat, sehingga memungkinkan terjadinya kegoncangan emosi, kecemasan, dan kekhawatiran. Bahkan, kepercayaan agama yang telah tumbuh pada umur sebelumnya, mungkin pula mengalami kegoncangan. Kepercayaan kepada tuhan kadang-kadang sangat kuat, akan tetapi kadang-kadang menjadi berkurang yang terlihat pada cara ibadanya yang kadang-kadang rajin dan kadang-kadang malas. penghayatan rohani cenderung skeptis sehingga muncul keengganan dan kemalasan untuk melakukan berbagai kegiatan ritual yang selama ini dilakukannya dengan penuh kepatuhan.
Sikap negative (meskipun tidak selalu terang-terangan) disebabkan alam pikirannya yang kritis melihat kenyataan orang-orang beragama secara hipocrit (pura-pura) yang pengakuan dan ucapannya tidak selalu selaras dengan perbuatannya. Mereka meragukan agama bukan karena ingin manjadi agnostik atau atheis, melainkan karena ingin menerima agama sebagai sesuatu yang bermakna berdasarkan keinginan mereka untuk mandiri dan bebas menentukan keputusan-keputusan mereka sendiri.
Pandangan dalam hal ke-Tuhanannya menjadi kacau karena ia banyak membaca atau mendengar berbagai konsep dan pemikiran atau aliran paham banyak yang tidak cocok atau bertentangan satu sama lain. Penghayatan rohaniahnya cenderung skeptic (diliputi kewas-wasan) sehingga banyak yang enggan melakukan berbagai kegiatan ritual yang selama ini dilakukannya dengan kepatuhan.
b.     Masa Remaja Akhir (18-26)
Masa remaja terakhir dapat dikatakan bahwa anak pada waktu itu dari segi jasmani dan kecerdasan telah mendekati kesempurnaan. Yang berarti bahwa tubuh dengan seluruh anggotanya telah dapat berfungsi dengan baik, kecerdasan telah dianggap selesai pertumbuhannya, tinggal pengembangan dan penggunaannya saja yang perlu diperhatikan.
Sikap kembali, pada umumnya kearah positif dengan tercapainya kedewasaan intelektual, bahkan agama dapat menjadi pegangan hidupnya menjelanh dewasa. Pandangan dalam hal ke-Tuhanan dipahamkannya dalam konteks agama yang dianut dan dipilihnya. Penghayatan rohaniahnya kembali tenang setelah melalui proses identifikasi dan merindu puja ia dapat membedakan antara agama sebagai doktrin atau ajaran dan manusia penganutnya, yang baik shalih) dari yang tidak. Ia juga memahami bahwa terdapat berbagai aliran paham dan jenis keagamaan yang penuh toleransi seyogyanya diterima sebagai kenyataan yang hidup didunia ini.


5.        Sebutkan dan jelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi sikap keagamaan pada seseorang?

Jawab:
a.         Faktor Internal
Faktor internal berhubungan langsung dengan pertumbuhan pikiran, mental, dan juga perasaan. Pengaruh emosi (perasaan) yang mana dari pengaruh emosi tersebut memunculkan selektifitas. Selektifitas di sini merupakan daya pilih atau minat perhatian untuk menerima, mengolah pengaruh-pengaruh yang datang dari luar diri manusia. Emosi mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam pembentukan perilaku keagamaan.

b.        Faktor Eksternal
Faktor Eksternal yang berpengaruh terhadap perkembangan jiwa keagamaan adalah lingkungan dimana individu itu hidup, yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat.
1.      Lingkungan Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi anak, oleh karena itu peranan keluarga dalam menanamkan kesadaran beragama anak sangatlah dominan. Keluarga mempunyai peran sebagai pusat pendidikan bagi anak untuk memperoleh pemahaman tentang nilai- nilai (tata krama, sopan santun, atau ajaran agama) dan kemampuan untuk mengamalkan atau menerapkannya dalam kehidupan sehari - hari, baik secara personal maupun social kemasyarakatan
2.      Lingkungan Sekolah
Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang mempunyai program yang sistemik dalam melaksanakan bimbingan, pengajaran, dan latihan kepada siswa agar mereka berkembang sesuai dengan potensi secara optimal, baik menyangkut aspek fisik, psikis, (intelektual dan emosional), social, maupun moral-spiritual. Imam Ghozali mengemukakan tentang peranan guru dalam pendidikan akhlak anak bahwa penyembuhan badan memerlukan seorang dokter yang tahu tentang tabiat badan serta macam-macam penyakitnya dan cara-cara penyembuhannya. Demikian pula halnya dengan penyembuhan jiwa dan akhlak. Keduanya membutuhkan guru yang tahu tentang tabiat dan kekurangan jiwa manusia serta tentang cara memperbaiki dan mendidiknya.


3.      Lingkungan Masyarakat
Setelah menginjak usia sekolah, sebagian besar waktu siswa dihabiskan disekolah dan masyarakat. Dalam masyarakat, anak melakukan interaksi sosial dengan teman sebayanya atau anggota masyarakat lainnya. Maka dari itu perkembangan jiwa keagamaan seseorang sangat bergantung pada kualitas perilaku atau akhlak warga masyarakat itu sendiri. Yang dimaksud lingkungan masyarakat adalah situasi atau kondisi interaksi sosial dan sosio-kultural yang secara potensial berpengaruh terhadap perkembangan fitrah keagamaan anak. Dalam masyarakat anak melakukan interaksi sosial dengan teman sebayanya (peer group) atau anggota masyarakat lainnya. Apabila teman sepergaulan itu menampilkan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai agama atau berakhlak mulia, maka anak cenderung berakhlak mulia. Namun apabila sebaliknya, yaitu teman sepergaulannya menunjukkan kebobrokan moral maka anak akan cenderung terpengaruh untuk berperilaku seperti temannya tersebut. Hal ini terjadi apabila anak kurang mendapat bimbingan agama dari orang tuanya. Oleh karena itu kualitas perkembangan kesadaran beragama anak sangat tergantung kepada kualitas perilaku atau akhlak warga masyarakat (orang dewasa) itu sendiri. Dalam upaya menanamkan sikap keagamaan pada anak, maka ke tiga lingkungan tersebut secara sinerji harus bekerja sama, dan bahu membahu untuk menciptakan iklim, suasana lingkungan yang kondusif. Dengan demikian walaupun sikap keagamaan merupakan bawaan tetapi dalam pembentukan dan perubahannya ditentukan oleh faktor eksternal.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEBERADAAN, PENGARUH DAN HUBUNGAN AGAMA HINDU DENGAN KONSEPSI ESTETIKA DI BALI

Take Home Landasan Pendidikan